KARTINI

Cerpen Putu Wijaya

Subuh hari pintu rumah Amat digedor. Seorang tetangga muda muncul di depan pintu dengan muka berbinar-binar.
“Pak Amat, anak saya sudah lahir, selamat dan sehat.”

Darah Amat yang tadinya sudah naik langsung surut.
“Bagus! Selamat! Anak pertama kan?!”
“Betul Pak Amat. Tolong!”
“Tolong?”
”Kasih nama. Saya belum punya nama.”

 Amat cepat berpikir. Hari Kartini baru saja lewat. Ia langsung menggapai.
“Beri nama Kartini!”

Bapak muda itu terpesona. Amat langusng cepat mengguncang tangannya.
“Tak usah nama yang muluk-muluk, apa artinya nama, biar anak itu sendiri yang mengubah namanya. Siapa pun kamu sebut dia, kalau dia dididik dengan baik, dia akan jadi sejarah yang berguna bagi orang banyak. Selamat!”

 Anak muda itu masih bengong, tapi Amat tidak memberinya kesempatan bertanya lagi, langsung menutupkan pintu lagi.
“Lagi asyik-asyiknya, ada saja yang ganggu. Masak subuh-subuh begini nanya minta nama segala, “
“kata Amat sembari masuk kamar menghampiri Bu Amat.
“Kalau belum siap punya anak, kenapa bikin anak. Masak nama saja bingung, Nanti kalau beli susu, periksa dokter, pasti lebih bingung lagi. Sudah sampai di mana kita tadi, Bu?”

Bu Amat  ternyata sudah tidur pulas kembali. Amat kecewa berat. Tapi besoknya Bu Amat malah marah-marah.
“Bapak keterlaluan!”
”Lho, bukannya Ibu yang keterlaluan! Baru ditinggal sebentar sudah ngorok lagi!”
“Masak ngasih nama anak orang Kartini.”
“Lho, memang kenapa? Ibu Raden Ajeng Kartini kan orang besar. Tokoh sejarah. Nama itu bukan soal sepele. Memberi nama anak harus dengan cita-cita, akan jadi apa anak itu kelak. Ibu Kartini kan sudah berjasa membangkitkan kaum perempuan di Indonesia supaya percaya diri. Dia itu hebat, Bu!”
“Memang. Tapi tidak semua orang yang namanya Kartini bisa seperti RA Kartini!”
“Makanya yang namanya usaha itu penting, jangan hanya bergantung dari nama tok. Itu namanya klenik. Nama sakti juga kalau pendidikannya tidak becus jadi sampah. Lihat itu anak tetangga kita namanya Gajah Mada, mau bapaknya supaya jadi orang besar, eh nyatanya cumakusir dokar.”
“Mendingan Gajah Mada. Jelas. Kok Kartini!”
“Lho tidak bisa dibandingkan begitu, Bu. Sebesar-besar Gajah Mada, orang Sunda benci sama dia. Sementara Kartini, walau pun hanya bangsawan Jawa, tapi perjuangannya sangat berarti untuk membebaskan kaum perempuan di seluruh Indonesia yang sampai sekarang nasibnya masih di bawah telapak kaki lelaki!”
“Betul! Tapi kalau anak laki diberi nama Kartini, itu namanya sudah sinting!”

 Amat terkejut.
”Lho, jadi anaknya laki-laki?”
“Sejak 5 bulan lalu dokter sudah bilang lelaki. Kok kasih nama Kartini?”

Amat bengong. Ia cepat memakai sandal dan bergegas ke rumah tetangga itu. Anak muda itu sudah hampir hendak berangkat ke klinik bersalin membawa perlengkapan untuk istri dan anaknya.
“Terimakasih Pak Amat.”
Amat jadi salah tingkah. Dengan malu dia mengulurkan tangan minta maaf.
“Maaf, Bapak tidak tahu. Aku memberikan nama sembarangan. Jangan pakai nama itu!”
“Tidak apa Pak Amat. What is a name. Saya berterimakasih sekali Pak Amat tidak marah digedor subuh begitu. Namanya bagus.”

Amat bingung.
“Lho jangan ngasih nama anakmu Kartini!”
“Tapi Raden Ajeng Kartini kan pahlawan Pak Amat. Saya harap nanti anak saya akan berguna kepada bangsa seperti Kartini.”
“Jangan! Kenapa mesti kasih nama Kartini!”
“Itu kan pemberian dari Pak Amat?”
“Habis aku kan tidak tahu. asal nyeplos saja!.” Anak muda itu tertawa.
”Nama Kartini itu bagus, Pak!”
“Jangan!”

Anak muda itu tertawa lagi lalu pergi.
”Aku kira dia tersingung dan menyindir. Masak aku kasih nama anak lakinya dengan nama perempuan,” curhat Amat malam hari di meja makan.

“Makanya kalau ngomong jangan sembarangan,”kata Bu Amat, “anak itu sudah kaulan, apa pun nama yang diberikan oleh orang pada anaknya akan dia pakai. sebab sudah 11 tahun menikah belum punya anak.”

Amat terperanjat.
“Jadi dia serius akan memberi nama putranya Kartini?”
 “Iya iyalah!”

Amat tak jadi makan. Ia merasa bersalah. Ia menunggu di depan rumah sampai larut malam. Ketika anak muda itu pulang dari klinik, ia langsung menyapa.
“Gus, Kartini tadi datang menemui Bapak.”

Anak muda itu terkejut.
“Siapa Pak?”
“Raden Ajeng Kartini.”

Anak muda itu tersenyum. Amat langsung mencecer. “Boleh lanjutkan perjuanganku, bebaskan perempuan-perempuan Indonesia dari penindasan, kata RA Kartini. Merdekakan kaumku agar mendapat perlakuan setara dengan kaum lelaki. Tetapi tidak perlu menjadi lelaki. Hakekat perempuan tetap perempuan, lelaki tetap lelaki, karena itu laki perempuan akan bertemu untuk saling melengkapi. Kalau kamu menjadikan perempuan lelaki dan lelaki itu perempuan, kamu sudah menodai perjuanganku!”

 Anak muda itu mengangguk
 “Saya mengerti maksud Pak Amat.”
“Kalau begitu jangan kasih nama anakmu Kartini!”
“Tidak bisa Pak, sudah dicatatkan dalam akte kelahirannya.”
”Tapi kamu tidak boleh mengubah anak lelaki menjadi perempuan!”
“Anak saya perempuan Pak, bukan lelaki seperti yang diramalkan oleh Dokter.”


Kiai Yazid dan Si Anjing Hitam

Cerpen Wawan Susetya

Syahdan, pada zaman dahulu, ada seorang kiai besar yang sangat dihormati. Orang-orang di sekitarnya memanggi Kiai Yazid --lengkapnya Kiai Abu Yazid al-Bustami. Santrinya banyak. Mereka belajar di bawah bimbingan Sang Guru. Mereka datang dari berbagai penjuru dunia; ada yang dari Irak, Iran, Arab, Tanah Gujarat, Negeri Pasai dan sebagainya. Mereka setia dan tunduk patuh atas semua naSihat dan bimbingan Sang Mursyid.

Selain Kiai Yazid punya santri di pesantrennya, banyak pula masyarakat yang menginginkan nasihat dari beliau. Mereka pun datang dari berbagai penjuru dunia. Ada yang menanyakan tentang perjalanan spiritual yang sedang dihayatinya, ada pula yang bertanya cara menghilangkan penyakit-penyakit hati, bahkan tak jarang yang menginginkan usaha mereka lancar serta keperluan-keperluan yang Sifatnya pragmatis dan teknis lainnya. Semuanya dilayani dan diterima dengan baik oleh Sang Kiai.

Meski demikian, kadang-kadang terjadi pula tamu yang datang dengan maksud menguji dan mencobai Sang Kiai: apakah Kiai Yazid itu memang benar-benar waskita (tajam penglihatan mata batinnya)?

Para tamu yang datang, bukan hanya didominasi kalangan lelaki saja, tetapi juga ada perempuan sufi yang belajar kepadanya. Mereka ingin ber-taqarrub kepada Allah sebagaimana yang dilalui Sang Kiai. Di antara mereka ada yang berhasil, ada pula yang gagal di tengah jalan. Semua itu, kata Kiai Yazid, memang bergantung pada ketekunannya masing-masing. Beliau hanya mengarahkan dan membimbing; semuanya bergantung dari keputusan-Nya jua.

Karena ke-’alim-annya itu, akhirnya masyarakat memang benar-benar menganggap bahwa Kiai Yazid adalah sosok yang patut dijadikan tauladan atau panutan. Bukan hanya itu. Para kalangan sufi pun menghormati kedalaman rasa Sang Kiai. Para sufi pun banyak yang mengajak diskusi, konsultasi, musyawarah dan membahas soal-soal spiritual yang pelik-pelik. Nglangut. Hadir dan menghadirkan. Berpisah dan bersatu.

Kedalaman rasa Sang Kiai, misalnya, ia bisa saja merasa kesepian atau "menyendiri" ketika berkumpul dengan orang banyak. Di tempat lain, Sang Kiai sangat merasakan ramai, padahal ia sendirian. Begitulah, semua rasa itu tertutup oleh penampilan beliau yang memikat, mengayomi, melindungi, mengajar, dan gaul dengan banyak orang.
***
Pada suatu hari, Kiai Yazid sedang menyusuri sebuah jalan. Ia sendirian. Tak seorang santri pun diajaknya. Ia memang sedang menuruti kemauan langkah kakinya berpijak; tak tahu ke mana arah tujuan dengan pasti. Ia mengalir begitu saja. Maka dengan enjoy-nya ia berjalan di jalan yang lengang nan sepi.

Tiba-tiba dari arah depan ada seekor anjing hitam berlari-lari. Kiai Yazid merasa tenang-tenang saja, tak terpikirkan bahwa anjing itu akan mendekatnya. E?.ternyata tahu-tahu sudah dekat; di sampingnya. Melihat Kiai Yazid --secara reflek dan spontan-- segera mengangkat jubah kebesarannya. Tindakan tadi begitu cepatnya dan tidak jelas apakah karena -barangkali-- merasa khawatir: jangan-jangan nanti bersentuhan dengan anjing yang liurnya najis itu!

Tapi, betapa kagetnya Sang Kiai begitu ia mendengar Si Anjing Hitam yang di dekatnya tadi memprotes: "Tubuhku kering dan aku tidak melakukan kesalahan apa-apa!"

Mendengar suara Si Anjing Hitam seperti itu, Kiai Yazid masih terbengong: benarkah ia bicara padanya?! Ataukah itu hanya perasaan dan ilusinya semata? Sang Kiai masih terdiam dengan renungan-renungannya.

Belum sempat bicara, Si Anjing Hitam meneruskan celotehnya: "Seandainya tubuhku basah, engkau cukup menyucinya dengan air yang bercampur tanah tujuh kali, maka selesailah persoalan di antara kita. Tetapi apabila engkau menyingsingkan jubah sebagai seorang Parsi (kesombonganmu), dirimu tidak akan menjadi bersih walau engkau membasuhnya dengan tujuh samudera sekalipun!"

Setelah yakin bahwa suara tadi benar-benar suara Si Anjing Hitam di dekatnya, Kiai Yazid baru menyadari kekhilafannya. Secara spontan pula, ia bisa merasakan kekecewaan dan keluh kesah Si Anjing Hitam yang merasa terhina. Ia juga menyadari bahwa telah melakukan kesalahan besar; ia telah menghina sesama makhluk Tuhan tanpa alasan yang jelas.

"Ya, engkau benar Anjing Hitam," kata Kiai Yazid, "Engkau memang kotor secara lahiriah, tetapi aku kotor secara batiniah. Karena itu, marilah kita berteman dan bersama-sama berusaha agar kita berdua menjadi bersih!"

Ungkapan Kiai Yazid tadi, tentu saja, merupakan ungkapan rayuan agar Si Anjing Hitam mau memaafkan kesalahannya. Jikalau binatang tadi mau berteman dengannya, tentu dengan suka rela ia mau memaafkan kesalahannya itu.

"Engkau tidak pantas untuk berjalan bersama-sama denganku dan menjadi sahabatku! Sebab, semua orang menolak kehadiranku dan menyambut kehadiranmu. Siapa pun yang bertemu denganku akan melempariku dengan batu, tetapi Siapa pun yang bertemu denganmu akan menyambutmu sebagai raja di antara para mistik. Aku tidak pernah menyimpan sepotong tulang pun, tetapi engkau memiliki sekarung gandum untuk makanan esok hari!" kata Si Anjing Hitam dengan tenang.

Kiai Yazid masih termenung dengan kesalahannya pada Si Anjing Hitam. Setelah dilihatnya, ternyata Si Anjing Hitam telah meninggalkannya sendirian di jalanan yang sepi itu. Si Anjing Hitam telah pergi dengan bekas ucapannya yang menyayat hati Sang Kiai.

"Ya Allah, aku tidak pantas bersahabat dan berjalan bersama seekor anjing milik-Mu! Lantas, bagaimana aku dapat berjalan bersama-Mu Yang Abadi dan Kekal? Maha Besar Allah yang telah memberi pengajaran kepada yang termulia di antara makhluk-Mu yang terhina di antara semuanya!" seru Kiai Yazid kepada Tuhannya di tempat yang sepi itu.

Kemudian, Kiai Yazid dengan langkah yang sempoyongan meneruskan perjalanannya. Ia melangkahkan kakinya menuju ke pesantrennya. Ia sudah rindu kepada para santri yang menunggu pengajarannya.
***
Keunikan dan ke-nyleneh-an Kiai Yazid memang sudah terlihat sejak dulu. Kepada para santrinya, beliau tidak selalu mengajarkan di pesantrennya saja, tetapi juga diajak merespon secara langsung untuk membaca ayat-ayat alam yang tergelar di alam semesta ini. Banyak pelajaran yang didapat para santri dari Sang Kiai; baik pembelajaran secara teoritis maupun praktis dalam hubungannya dengan ketuhanan.

Suatu hari, Kiai Yazid sedang mengajak berjalan-jalan dengan beberapa orang muridnya. Jalan yang sedang mereka lalui sempit dan dari arah yang berlawanan datanglah seekor anjing. Setelah diamati secara seksama, ternyata ia bukanlah Si Anjing Hitam yang dulu pernah memprotesnya. Ia Si Anjing Kuning yang lebih jelek dari Si Anjing Hitam. Begitu melihat Si Anjing Kuning tadi terlihat tergesa-gesa --barangkali karena ada urusan penting-- maka Kiai Yazid segera saja mengomando kepada para muridnya agar memberi jalan kepada Si Anjing Kuning itu.

"Hai murid-muridku, semuanya minggirlah, jangan ada yang mengganggu Si Anjing Kuning yang mau lewat itu! Berilah dia jalan, karena sesungguhnya ia ada suatu keperluan yang penting hingga ia berlari dengan tergesa-gesa," k ata Kiai Yazid kepada para muridnya.

Para muridnya pun tunduk-patuh kepada perintah Sang Kiai. Setelah itu, Si Anjing Kuning melewati di depan Kiai Yazid dan para santrinya dengan tenang, tidak merasa terganggu. Secara sepintas, Si Anjing Kuning memberikan hormatnya kepada Kiai Yazid dengan menganggukkan kepalanya sebagai ungkapan rasa terima kasih. Maklum, jalanan yang sedang dilewati itu memang sangat sempit, sehingga harus ada yang mengalah salah satu; rombongan Kiai Yazid ataukah Si Anjing Kuning.

Si Anjing Kuning telah berlalu. Tetapi rupanya ada salah seorang murid Kiai Yazid yang memprotes tindakan gurunya dan berkata: "Allah Yang Maha Besar telah memuliakan manusia di atas segala makhluk-makhluk-Nya. Sementara, kiai adalah raja di antara kaum sufi, tetapi dengan ketinggian martabatnya itu beserta murid-muridnya yang taat masih memberi jalan kepada seekor anjing jelek tadi. Apakah pantas perbuatan seperti itu?!"

Kiai Yazid menjawab: "Anak muda, anjing tadi secara diam-diam telah berkata kepadaku: "Apakah dosaku dan apakah pahalamu pada awal kejadian dulu sehingga aku berpakaian kulit anjing dan engkau mengenakan jubah kehormatan sebagai raja di antara para mistik (kaum sufi)?" Begitulah yang sampai ke dalam pikiranku dan karena itulah aku memberikan jalan kepadanya."

Mendengar penjelasan Kiai Yazid seperti itu, murid-muridnya manggut-manggut. Itu merupakan pertanda bahwa mereka paham mengapa guru mereka berlaku demikian. Semuanya diam membisu. Mereka tidak ada yang membantah lagi. Mereka pun terus meneruskan perjalanannya. ***

(Inspirasi cerita: Kisah Abu Yazid al-Busthomi, tokoh besar dari kalangan kaum sufi)
Tulungagung, 9 Oktober 2003

Ikan-ikan Mati dalam Akuarium

Cerpen Hamdy Salad

IKAN-IKAN dengan penuh warna di tubuhnya, mati kelaparan dalam akuarium di ruang tamu. Sesosok bayangan melintas di sana. Mengitari kotak kaca itu dengan cara yang belum dikenal oleh pemiliknya. Lalu muka mendelik. Menyalangkan kedua matanya lebih tajam dari sinar lampu. Bayang-bayang itu kemudian bergerak dan mengepalkan tinju ke dinding air persegi lima.

Pyaaarrrr !!!
Akuarium di ruang tamu itu pecah. Tubuh air bergulingan. Kaca-kaca berantakan. Bau anyir lekat di lantai, karena gagal sembunyi ke tanah. Bayang-bayang menghilang. Tubuh ikan dan kematian juga menghilang. Entah ke mana. Tapi pecahan-pecahan kaca itu, tak bisa lenyap dari pandangan mata. Lalu berbiak dan melayang-layang. Memenuhi udara di ruang tamu. Menembusi pintu-pintu yang terkunci. Memasuki ruang keluarga, kamar tidur dan kerja, juga dapur dan kamar mandi.

Pecahan-pecahan kaca itu bergerak sangat cepat. Melingkar bagai surya benggala. Memantulkan sejarah dan riwayat para penghuni rumah. Seperti kisah dan dongeng, seperti mimpi dan kenyataan yang diceritakan malaikat kepada para nabi dan wali; dunia dapat berubah setiap saat tanpa sebab yang diketahui oleh akal budi.

"Jika Tuhanmu menghendaki, tak ada sesuatu pun yang bisa menghalangi."
"Maka, terjadilah apa yang terjadi."
"Siapakah yang mampu menghidupkan kembali tulang-tulang ikan itu sebagai saksi terhadap segala peristiwa yang telah terjadi?"

Tak ada yang menjawab. Tak juga aku atau engkau. Kecuali ikan-ikan lain yang masih hidup dan membawa telur-telurnya di air tawar atau asin. Sebab ikan merupakan bentuk kehidupan paling awal sebelum manusia diciptakan. Ikan-ikan menggunakan sirip dan ekornya untuk berenang melintasi samudra. Menggunakan mulutnya untuk menghirup oksigen dalam air sebagai cara memurnikan darahnya. Ikan-ikan juga merupakan amsal para pengembara yang berjalan sendirian. Menembusi dinding-dinding udara padat dengan cara yang lurus ke depan tanpa sedikit pun menoleh ke belakang, kecuali jika ia ingin menuju ke tempat itu.

Pada saat air menjadi keruh dan kotor, ikan-ikan muncul ke permukaan untuk menghirup oksigen dari udara yang menghidupi manusia. Tanpa oksigen, ikan dan manusia tak bisa bernafas untuk mengenali keberadaannya. Oksigen adalah zat api yang dilimpahkan Tuhan ke muka bumi. Lalu dialirkan alam ke dalam sel-sel darah merah sebagai panas yang membakar makanan dalam tubuh semua makhluk yang bernyawa. Namun begitu, sebagaimana manusia tak bisa hidup di dasar laut, ikan-ikan juga tak bisa hidup di daratan.

Ketika Yunus terlempar ke laut, dan kemudian ditelan ikan Hiu, tentu ia akan mati juga di sana. Karena oksigen yang dihirup ikan tak bisa dihirup kembali oleh manusia. Jika saja ia tak pernah dicatat oleh malaikat Raqib sebagai makhluk berakal yang banyak mengingat pada pencipta-Nya; pastilah ia akan tetap tinggal dalam perut ikan itu sampai air berkerak dan berubah menjadi lumpur minyak; lalu api berkuasa untuk melenyapkan segalanya. Dan itulah sebabnya, Yunus masih bisa menggerakkan kedua kaki. Untuk sujud dan berdoa sebagaimana manusia lain yang masih memiliki harapan di dekat limpahan rahmat-Nya.

"Tiada Tuhan selain Engkau. Maha suci Engkau, Ya Allah. Keluarkan aku dari tempat ini. Sungguh! Aku ini termasuk orang-orang yang dhalim."
Lalu air mengencangkan otot dengan garam. Mengubah diri jadi gelombang. Para perompak dan penjahat tertawa ngakak, minum wisky dan arak dari botol separuh geladak. Sementara para malaikat menengadahkan kedua telapak tanganya, memohon keselamatan bagi orang-orang yang lemah dan dilemahkan oleh kekuasaan. Ikan-ikan bertasbih dengan insang dalam paru-parunya. Ikan Hiu membuka mulutnya di tepi pantai yang jauh, menyelamatkan Yunus ke daratan. Menebarkan kisah-kisah ajaib di bawah pohon palma, di antara bukit-bukit pasir, sebelum Isa dan Muhammad dilahirkan.

Sedangkan ikan-ikan lain yang lebih kecil dan tidak berdaya, hanya bisa membuka matanya untuk menjadi saksi berbagai kekejaman manusia yang disembunyikan ke dasar laut. Hingga mereka kehilangan jalan saat laut menjadi muak dan membesarkan ombaknya dalam kecemasan. Mengarak gempa dan badai. Melongsorkan batu dan tanah. Merubuhkan pohon dan rumah-rumah.

Dan ketika laut menjadi gelap, kosong, ikan-ikan kehilangan tempat untuk bersembunyi dalam rumah sejati. Sebagian lenyap jadi mineral. Sebagian lagi berpaling menuju instink yang luar biasa untuk menghindari para pemangsa. Ikan belut dan pari melindungi diri dengan cara mengeluarkan energi listrik, sekaligus menjadi tanda untuk menemukan jalan pulang di kedalaman samudra. Ikan-ikan salem mencari keselamatan bagi anak cucunya dengan menempuh perjalanan jauh; tanpa peta dan petunjuk; menuju tempat di mana mereka dilahirkan; melewati arus terjal, air terjun dan tanggul; dari laut ke sungai, dari sungai kembali ke laut. Sedang ikan yang masih berlari dalam mimpi, akan menjelma makhluk sempurna. Membangun benteng di balik batu karang. Mengalahkan raksasa air dengan penampung dan selokan-selokan di bawah dermaga, di sepanjang kota atau jalan raya.

"Maka, hidupkanlah kisah-kisah ikan itu dalam darah dan dagingmu. Jangan biarkan mereka mati dan membusuk dalam akuarium yang telah kau bangun dengan tanganmu sendiri."

Sesosok bayangan muncul kembali dengan wajah yang tidak berubah. Memberi nasehat pada penghuni rumah. Lalu pergi meninggalkan ruang tamu tanpa menoleh ke kanan atau ke kiri. Kemudian lampu seperti menyala untuk yang kedua kali. Langit-langit dari asbes berkilatan di atas kepala. Dinding air persegi lima masih juga di situ. Membeber keindahan dalam selimut biru. Ikan-ikan dengan warna di tubuhnya saling bertemu dan bercakap tanpa kata. Membuka tabir penuh pesona.

Seseorang yang telah lama mengaku sebagai pemiliknya, bangkit dari sofa. Menggerakkan kedua kakinya ke arah pintu, dan keluar menuju taman yang sempit di sisi halaman. Wajah bunga membuka kelopaknya ke angkasa. Menjadi saksi keberadaan. Bintang-bintang menebarkan cahaya di langit malam. Memberi tanda bagi siapa saja yang sedang tersesat di jalan gelap.

"Engkau boleh berkhayal untuk mendapatkan bagian dari dunia, tapi engkau tak boleh lupa dan terjerumus ke dalamnya."

"Karena itu aku sedang berkhayal untuk menurunkan bintang ke dalam kepalaku."
"Bintang-bintang telah ada dalam kepalamu sebelum engkau terlahir dari rahim ibu."

"Aku tahu. Karena aku punya otak. Tapi aku belum juga mengerti, kenapa bayang-bayang ikan yang kelaparan dan mati itu selalu muncul dalam ruang gelap di kepalaku."

"Engkau telah menjawab pertanyaanmu sendiri."
"Tapi aku belum mampu memahaminya."
"Tak ada kemampuan yang dapat diperoleh, kecuali membaca! Memahami ayat dan tanda-tanda."
Pemilik akuarium itu termangu. Lalu duduk di atas bangku yang terbuat dari semen dan pasir. Ingin rasanya berdiam diri dan menghilang di antara tumpukan tanda tanya. Namun otak yang bersembunyi di ruang gelap dalam kepalanya, tak mau diam walau sementara. Kumpulan syaraf-syaraf itu terus berderak dan mendesak. Menyalangkan mata ikan dalam sunyi. Menyaksikan batang cahaya menembusi langit dan bumi. ***

Lelaki dengan Bekas Luka di Jidatnya

Cerpen Sunaryono Basuki Ks

Lelaki yang duduk tepekur di atas kursi malas yang diletakkan di kebun bunga dengan halaman tertutup rerumputan hijau lembut itu adalah seorang pemburu yang terkenal mahir menggunakan senapannya. Tak ada suara anak-anak di rumah itu sebab mereka semuanya, kecuali si bungsu, sudah pergi meninggalkannya mencari rezeki di kota-kota yang jauh, bahkan di sebuah pengeboran minyak lepas pantai di wilayah Ceram.
Mereka adalah anak-anak yang dulunya sangat rajin belajar dan berhasil menyelesaikan studi mereka di universitas-universitas terkenal. Putut, yang tertua, yang dulunya bekerja di pengeboran minyak lepas pantai, sekarang bekerja sebagai konsultan di sebuah perusahaan asing berukuran raksasa, dan dia tidak pernah tinggal di satu kota besar dalam tempo yang lama. Kegiatannya berterbangan dari satu bandara ke bandara internasional yang lain, memberikan konsultasi yang mahal harganya, beristirahat akhir pekan di pantai negeri jauh, dan hanya sekali-sekali singgah di Jakarta. Tidak ada waktu untuk pulang ke Bali mengikuti berbagai upacara adat yang mengalir tak kering-keringnya dari hari ke hari, dari tahun ke tahun. Anggota keluarganya di desa selalu membicarakannya sebagai seorang sosok yang sangat dibanggakan oleh seluruh keluarga di kampung. Warga desa yang berhasil, seorang local genius yang sudah go international.

Bilamana mereka berkumpul di pura desa untuk sebuah upacara besar, sebuah piodalan , maka ketidakhadirannya dapat dimaafkan, sedangkan warga desa yang sudah merantau ke Denpasar atau bahkan ke Surabaya, bilamana tidak menghadiri upacara itu selalu dibicarakan.

"Berapa jauhkah Surabaya? Banyak bus malam yang melintasi desa kita, tetapi kenapa dia tak datang? Bukankah dia dapat menyisihkan waktu barang dua malam untuk pulang?"

Mungkin yang paling rajin pulang untuk menghadiri piodalan di desa maupun di sanggah keluarga adalah Dek Gung yang bekerja sebagai dosen Universitas Negeri Malang. Ada Bus Simpatik yang melayani penumpang dari Malang ke Singaraja, dan bilamana pulang, Dek Gung selalu menumpang bus itu, atau membawa mobil sendiri, datang dengan istri dan anak-anaknya. Dek Gung-lah yang paling mendapat pujian dari penduduk desa maupun dari keluarga, apalagi lelaki yang semasa mudanya itu aktif dalam kegiatan Teruna-Teruni di Banjar Bali di kota Singaraja sekarang sering memberikan dana punia untuk pembangunan desa maupun pura desa.

Mang Yul adalah anak ketiga, satu-satunya anak yang paling cantik dalam keluarganya sebab dialah anak perempuan satu-satunya. Adatnya santun sebagaimana diteladankan oleh ibunya. Dia sudah hidup bersama suaminya di Jakarta, dengan demikian tak banyak dibicarakan oleh orang sedesa karena dia sudah mengikuti keluarga suaminya yang berasal dari Badung.

Tut Sur adalah si bungsu, dan setelah itu tak ada lagi anak kelima. Bukan sebab lelaki itu mengikuti prinsip KB cara Bali, yakni beranak maksimum empat sebagaimana ditunjukkan oleh sistem penamaan anak-anak, tetapi karena Tut Sur membawa serta berita duka menyertai kelahirannya. Tut Sur-lah yang masih tinggal bersama lelaki tua yang dulu terkenal sebagai seorang pemburu yang mahir menggunakan senapannya itu, tetapi lelaki itu jarang berada di rumah walaupun tinggal bersama ayahnya.

Di rumah itu hanya tinggal tiga orang, lelaki itu bersama anaknya, seorang pembantu perempuan yang usianya sudah lebih dari enam puluh tahun, dan seekor anjing yang bertugas menjaga rumah di malam hari.

Ketika istrinya hamil anak keempat itu, permintaan yang mudah dikabulkan adalah seekor babi guling yang lezat, harus dimasak sendiri, dan harus berasal dari seekor babi hutan yang masih muda.
"Kalau itu urusan kecil," kata lelaki itu.

Maka dia pun berangkat sendirian ke arah hutan lindung di Bali Barat, perbatasan antara wilayah Buleleng dan Jembrana, namun dia tidak berburu di sana. Di mulut hutan dia berbelok ke kanan menuju arah pantai. Di situlah tempat sebaik-baiknya berburu babi hutan sebagaimana teman-temannya sesama pemburu pernah katakan. Di sana dia mungkin akan bertemu sesama pemburu dan akan mengadakan perburuan bersama. Di hutan lindung, di wilayah dekat Desa Cekik, menurut teman-temannya tidak aman. Bukan lantaran polisi hutan sering berkeliaran, tetapi lantaran penjaga hutan dari alam gaib tidak selalu ramah pada orang yang datang memasuki wilayah ini. Banyak sekali pantangan yang harus dipatuhi bilamana orang memasuki wilayah ini. Yang pertama, tentu, hati mereka tidak boleh kotor. Lalu, mereka tidak diperkenankan membawa daging sapi. Lalu, tidak boleh mengucapkan kata-kata yang dapat menyinggung perasaan penjaga hutan di situ.

Pernah terjadi serombongan siswa SMA berkemah di wilayah itu bersama beberapa guru pembimbing. Sebelum berangkat, kepala sekolah sudah memberi pesan agar mereka berhati-hati berada di wilayah itu, tidak berbuat yang tak senonoh, berkata kotor, berpikiran kotor, dan tidak membawa bekal yang berasal dari daging sapi. Tidak boleh ada dendeng sapi, abon daging sapi, atau apa pun.

Salah seorang gurunya berasal dari Jawa dan tidak terlalu percaya pada hal-hal yang dianggapnya tahyul. Celakanya, ketika berada di wilayah itu dia ungkapkan ketidakpercayaan itu dalam kata-kata.

Tidak terjadi apa-apa, dan bapak guru itu semakin berani dengan mengatakan, "Bapak kan boleh makan abon, ya?" Lalu dengan enaknya dia menyantap abon yang dibawanya dari rumah dengan nasi bungkus yang disediakan panitia.

Tidak terjadi apa-apa, dan yakinlah dia bahwa apa yang dikatakan orang tentang semua larangan itu hanyalah tahyul belaka.

Ketika jam tidur datang, anak lelaki berkumpul dengan anak lelaki, dan siswa perempuan berkumpul dengan siswa perempuan dalam kemah mereka sendiri. Mula-mula terdengar teriakan dari kemah siswa perempuan.
"Ada yang bebainan ," teriak seorang siswa.

Ternyata bukan hanya seorang siswi yang bebainan, tetapi dua, tiga, lima. Sejumlah guru perempuan mencoba menolong, lalu guru lelaki ikut datang, lalu datang pula guru yang berbekal abon daging sapi itu, tergopoh hendak memberikan pertolongan.
"Aduh!" teriak lelaki itu, jatuh terkapar ke tanah, badannya kejang-kejang.
"Pak Man bebainan juga!" teriak para siswa panik.

Begitulah kisah teman-teman pemburu tentang Pak Man yang jatuh terkapar, dan ketika dicarikan dukun yang pandai, nyawanya ditebus dengan nasi kuning, bunga-bunga, dan sebaris doa.
"Kalau tidak, dia pasti mati. Nyawanya diminta oleh penjaga hutan."

Itu cuma salah satu kisah yang dapat ditimba dari wilayah itu. Masih banyak kisah lain yang terjadi tetapi tak tercatat. Misalnya tentang berpuluh mahasiswa yang tiba-tiba sakit perut.
"Lebih baik kita berburu di wilayah yang aman," kata pemburu itu.

Di langit tak ada bulan, hanya bintang yang bertebaran sampai memayungi laut. Dia menunggu dengan sabar sementara dari tadi dia tak bertemu seorang pun. Tiba-tiba dia mendengar suara semak-semak yang diterjang gerakan tubuh.
Dia pun bersiap-siap dengan senapannya.
"Ini pasti babi hutan," pikirnya.

Dan ketika suara semak belukar yang bergerak itu makin keras maka meletuslah senapannya dan terdengar tubuh yang rebah ke tanah.

"Ah, babi hutan besar yang terkena tembakanku," keluhnya, sementara istrinya minta seekor babi yang masih muda. Pelahan dia berjalan ke semak-semak itu, dan ketika dia menyorkan senternya ke arah bunyi rebah itu, dia tertegun tak berkata apa, tak bergerak.
"Tidak!!!"
Mematung beberapa saat lamanya, akhirnya dia lari meninggalkan tempat itu.
Kepada istrinya disampaikan warta bahwa semalaman tak dijumpainya babi hutan seekor pun.
"Mungkin mereka berpindah ke arah barat, tapi aku tak berani menginjak wilayah tenget itu," katanya.

Menjelang pagi istrinya mengeluh lantaran kandungannya terasa sakit. Dengan sepeda motor dia melarikan istrinya langsung ke rumah sakit. Ketika fajar tiba istrinya melahirkan anak mereka yang keempat, Tut Sur, Ketut Surya yang lahir ketika surya telah terbit. Ibunya meninggal saat melahirkan bayi yang sehat itu.

Lelaki itu menangis, dan seminggu kemudian dia menyembunyikan tangis yang lain dan menuai was-was yang makin bertunas, ketika dia membaca berita di harian Bali Post tentang mayat seorang lelaki dengan luka tembakan di jidatnya, ditemukan sudah membusuk di tengah hutan di wilayah pantai ujung barat Pulau Bali.

Tut Sur yang jarang tinggal di rumah itu ternyata dari jam ke jam berada di sudut kota, bicara dengan banyak orang yang tak terlalu mempedulikannya. Kadang dia bicara pada rembulan, kadang pada jembatan beton Kampung Tinggi yang kokoh. Pada suatu sore dia kembali ke rumah, bau badannya tak terlukiskan dan pakaiannya kotor. Pemburu itu masih duduk tepekur di kursi malas di tengah kebun bunga halaman rumahnya.

Tut Sur tiba-tiba menubruk lelaki itu, bersimpuh di pangkuannya dengan pertanyaan seorang anak yang haus akan jawaban:
"Ayah, ayah, kenapa ada luka di jidatku ini?"
Luka itu sudah ada sejak dia dilahirkan, tetapi kenapa dia baru bertanya sekarang?

Lelaki pemburu itu memegang kepala anaknya dengan kedua belah tangan dan dikecupnya bekas luka di jidat anak itu seolah dia ingin menghisapnya supaya tertelan ke dalam perutnya.
"Ya, Hyang Widhi. Kenapa tidak kau lubangi saja kepalaku agar anakku ini tidak menjalani siksa seumur hidupnya?"

"Ayah, ayah, kenapa ada bekas luka di jidatku? Apakah aku anak durhaka? Apakah aku Prabu Watugunung yang durhaka? Atau, apakah aku putera Dayang Sumbi?"
"Ah, siapakah yang mendongeng padamu, anakku? Ibumu bukan?" ***

Singaraja, 3 Agustus 2003

Tiga Sekutu Setan

Cerpen Muhidin M Dahlan

KAU orang muda Jawa-Arab yang pergi ke tanah haram. Mungkin mengikuti jejak spiritualitas para nabi. Atau berharap mendapatkan barakah kesempurnaan hidup dan kecemerlangan pandangan jiwa dalam menangkap lenggak-lenggok kehidupan. Seperti para nabi. Seperti orang-orang suci yang pernah lahir dan tertempa di sana. Kau ingin mengikuti jalan mereka.
Dan sepuluh tahun sudah. Ya, genap sepuluh tahun kau belajar kepada syekh itu atas rekomendasi syekh ini. Sebuah pola pemberian ajar berantai panjang khas tanah haram. Pelbagai ajaran kau timba. Segala cerita perjalanan sang abid kala safar di jalan-Nya telah kaudengarkan. Dan pelbagai pengalaman telah kau cerap dalam lakumu.
Dan kini, sesuai niat dan janji dan perjanjian pada para wali sepuh di tanah kelahiranmu, yakni belajar 10 tahun, kau pun akhirnya memutuskan untuk bersegera pulang. Meninggalkan gurun dengan angin Sahara yang ganas itu. Ah, betapa tak banyak yang tak tahu hakikat sahara itu. Juga mungkin kau salah satunya, walau kau telah menggali sedalam-dalamnya pengetahuan di balik lipatan pasir-pasir ini selama satu dasawarsa menurut perhitungan Masehi. Bahwa Sahara yang begitu sederhana, padat, tanpa ornamen sedikit pun itu terselip gugusan kekosongan dan kehampaan. Juga kemurnian dan kesucian. Mirip Atlantis dan Shangri-La. Di tanah inilah lahir dan membiak orang-orang suci yang mendaraskan dan mengubah wajah padang pasir yang begitu sengat, luas, hampa, dan bisu, menjadi sepenuhnya wajah Allah, cermin keterhempasan dalam kemegahan. Dalam kesunyiannya yang menciutkan nyali itu, seorang insan dilenyapkan dan sekaligus dihadirkan. Setiap insan ditunjuk -atau tepatnya dipaksa- untuk hidup dalam sikap berjuang. Bukan usaha menaklukkan, melainkan bertahan melintasi nasib Sahara untuk mendapatkan oase-oase kedamaian. Gurunlah membuat penghuninya ramah-ramah yang kemudian melahirkan ribuan kuplet kisah, pengalaman-pengalaman spiritual, dan kerendahan hati, sekaligus sikap teguh diri dan insan-insan yang hidup sederhana.

Di tengah jalan pulang menuju dermaga kau berpapasan dengan seorang lelaki. Ia menghampirimu. Tubuhnya dibaluti jubah putih yang tak lagi baru karena telah disikat usia. Demikian juga kepalanya. Terbalut rapat oleh balutan kain. Kulit wajahnya legam disepuh oleh panasnya matahari dan disergap bara pasir-pasir yang berkilat-kilat seperti hamburan ngengat butir kristal.

Kau sedikit gugup atas kedatangannya. Namun kegugupan itu kau sembunyikan rapat-rapat. Ia tersenyum. Mungkin itu senyuman manis. Dan kau membalasnya juga dengan senyuman. Tak kalah manisnya.
Kau tanya siapa ia. Ia hanya tersenyum. Kau ulangi pertanyaan serupa. Ia tersenyum lagi. Setelah tiga kali kau mengulangi pertanyaan yang serupa, ia kemudian membuka suara. Suaranya tampak berat dan seperti suara seorang pewejang di atas mimbar khotbah. Anggapmu begitu.

Ia memperkenalkan diri. Pelan dan tertata ia merangkai setiap patahan kata kalimat. Seperti diatur rapi.
"Aku bukan dari tanah ini, tuan. Aku orang jauh. Sisa keturunan Hamor yang dibantai oleh keturunan Yakoov."
Kau terkejut. Coba meminta konfirmasi. "Maksud tuan, ah, maksudku apakah Nabi Yakub yang tuan maksudkan?"
"Ya, ya," jawabnya. Matanya menatap matamu. Kalian beradu mata.
"Tuan, bagaimana mungkin itu terjadi. Tidak mungkin seorang nabi bisa membantai orang. Mereka adalah orang terpilih dan memiliki pengecapan cinta yang tak ada bandingnya. Hati mereka telah dijagai oleh Allah. Terlindunglah mereka dari segala angkara dan perbuatan-perbuatan jahili," kau coba mempertahankan dasar cerita yang pernah kaudengarkan. Sekuatnya kuda-kuda pengaman kau pasang di sepasang pacak kakimu. Apalagi di hadapan orang asing seperti yang ada di depanmu saat ini.

"Tapi aku punya cerita lain tentang hakikat kesucian. Ya, kalau mengingat cerita itu lagi, ah... ah...."
Kau melihat ia agak terguncang dengan ingatan kesilamannya. Terlihat dari raut wajahnya yang tiba-tiba saja bermendung. Tampak ada tekanan mahaberat yang sudah berbiak lama dalam pusat golak hidupnya.

"Cerita apa yang telah membuat tuan begitu tertekan. Tampaknya cerita itu tajam sekali menusuk uluhati tuan."
"Ya, ya, sebuah cerita. Sebuah pengalaman yang menusuk. Benar kata tuan, tajamnya menusuk-nusuk uluhati. Tapi, tapi, oh, jangan di sini. Di sana. Ya, di sana. Mari kita duduk di sana. Di bawah danau itu. Angin Sahara sebentar lagi akan berhembus kencang."

Kau bertanya-tanya dalam hati sambil madah saja mengikuti ajakannya. Kalian menuju sebuah kayu panjang di depan dangau. Mungkin disiapkan bagi pengembara yang ingin menyanggrah sejenak melepas penat atau tempat perhentian ketika badai pasir menghajar perjalanan.
Kau mengambil tempat di ujung kayu sambil punggungmu kausandarkan di sebuah bilah. Mungkin pelepah kurma. Sementara ia duduk di depanmu sambil tangannya mendongakkan dagu. Terlihat seperti berpikir. Tak lama kemudian ia membuka cerita kepadamu. Cerita yang ia janjikan tadi. Cerita tentang Nabi Yakub dan keluarganya. Cerita yang sebetulnya biasa karena sudah seringnya kaudengarkan di surau. Bahkan sejak kau mengenal huruf hijaiyah.
Lalu apa istimewanya kisah yang diwejangkan sosok asing yang mencegatmu di tengah perjalanan pulang ini?
Alkisah Dina berkunjung ke negeri yang diperintah Hamor. Syahdan, putra Hamor, Shekkem namanya, melihat gadis ini dan hati anak muda itu tergerak. Disergapnya Dina, dan diperkosanya gadis itu.
Tapi apa hendak dikata: Shekkem ternyata tidak hanya melampiaskan napas. Tapi ia jatuh cinta. Kepada Dina ia sampaikan kata-katanya yang menghibur dan tulus. Kepada ayahnya sendiri Shekkem berkata: "Aku ingin menjadikan perempuan ini istriku."
Maka Hamor pun datang ke orangtua Dina, Yakoov. Ia meminang. "Mari kita bentuk perseku tuan perkawinan: tuan berikan putri tuan, dan kami berikan putra kami, dan kita selesaikan persoalan kita."
Namun perdamaian tak terjadi dan persoalan tidak tuntas. Putra-putra Yakoov masih merasa marah bahwa Shekkem telah menggagahi adik perempuan mereka. Inilah jawaban mereka kepada Yakoov: "Kami tak bisa memberikan adik kami kepada kaum yang belum disunat."
Dan mereka pun memberi syarat, dan dengan itulah mereka mengatur akal. Lamaran Hamor dan Shekkam akan diterima jika semua laki-laki di negeri itu memotong kulup kelaminnya -sebagaimana diwajibkan bagi orang-orang Yahudi-.
Syarat itu diterima oleh Hamor dan anaknya dengan senang hati. Maka segera saja semua laki-laki di tanah yang diperintah Hamor pun disunat. Tetapi pada hari ketiga -ketika orang-orang itu masih menanggungkan rasa sakit di ujung kemaluan mereka- dua orang putra Yakoov menyiapkan sesuatu yang tak disangka-sangka. Dengan pedang terhunus, mereka memasuki kota. Mereka temui tiap lelaki kota itu yang sedang dalam keadaan tak berdaya itu. Mereka bunuh. Lalu tak lama kemudian anak-anak Yakub yang lain menyerbu. Mereka menjarah kota itu. Domba, lembu, keledai semua yang ada di rumah, juga anak-anak dan para istri, disita.

Kau mengernyitkan dahi atas sepotong kisah mengerikan itu. Nabi Yakub, sekejam itukah? Disebabkan heran dan seperti tak mau terima kau bertanya, "Untuk apa semua itu tuan ceritakan kepadaku? Jangan jangan kau, kau.... kau... meng...."
"Maksud tuan, aku mengarang-ngarang cerita, begitu? Oh, sungguh cerita kekejaman keluarga Yakub itu menghantui kehidupanku dan orang-orang Hamor. Tapi... tapi, terserah kaulah tuan, percaya atau tidak. Percaya silakan. Tidak juga tak apa."
"Maaf, maaf, bukan aku ingin menyakitimu. Tapi untuk apa tuan menceritakan kisah itu kepadaku. Apa manfaatnya?"
"Agar tuan tahu bahwa kesucian pun adalah tipuan." Kau tahu ia hanya mengulang kalimat pertamanya. Seperti menegaskan sesuatu.
Dan kau mengulangi lagi sikapmu. Terbingung-bingung kau bertanya pada diri sendiri. "Sasmita apalagi yang menghadang pengembaraan menuju pintu pulang ini setelah bertahun-tahun ilmu kutimba dan kuukur-ukur?"
"Pernahkah tuan mendengar apa kata Syekh Al-Warraq?"
"Hmmm, jujur aku belum pernah mendengarnya. Tentang namanya, aku sudah mendengarnya karena Syekh tempatku berguru selalu menyebut-nyebut namanya. Tentang apa tuan?"
"Tentang ketaksucian yang bermata di mana-mana."
"Ho-oh. Aih, kalau tak keberatan, sudilah tuan tunjukkan mata-mata yang macam-macam itu," katamu meminta penjelasan.
Dan ia menunjukkan warisan mutiara kebijaksanaan Syekh Al-Warraq itu kepadamu:
Manusia terbagi dalam tiga kelompok: ulama (cendekia), umara (penguasa), dan fuqara (sufi). Korupsi para ulama itu melalui ketidakpedulian. Korupsi para penguasa melalui ketidakadilan. Dan korupsi kaum sufi adalah kemunafikan.
Kau tersentak. Sebentar tercenung. Kata-kata yang barusan meluncur seperti mencambukmu. Kata-kata yang masih asing di indra dengarmu. Khususnya kalimat yang terakhir. Kalau yang pertama dan kedua, walaupun tidak sama persis seperti yang kau dengarkan, tapi masih lumrah. Tapi yang ketiga itu? Sufi? Bukankah mereka adalah manusia suci pilihan?
Tanpa mengindahkan kau yang sedang berada dalam simpang teka-teki, dengan tenang ia berkata bahwa ketiga sosok itu adalah sekutu setan.
"Aku tahu tuan orang terpelajar. Pekerja keras. Abid yang tekun dan sabar. Tapi hati-hatilah, jangan sampai tuan jadi sekutu setan. Abdinya."
"Aku? Abdinya?"
Ia bilang ia tak menuduhmu. Hanya memperingatkan agar jangan sampai terperangkap dalam jaringan kerja setan. Menjadi teman dan sekutunya.
"Sudah kuingatkan ancaman itu. Penguasa tanpa pengetahuan, ulama tanpa budi, seorang sufi dengan keimanan buta. Kebusukan dunia terletak di pundak orang-orang itu. Seorang penguasa tidak menjadi korup hingga mereka berpaling dari para ulama, dan ulama tidak menjadi korup hingga mereka bergaul dengan penguasa, dan sufi tidak menjadi korup hingga mereka mencari pamer, dan ketamakan ulama karena keinginan akan kesalihan, dan kemunafikan sufi karena keinginan percaya kepada Allah. Tlah kuingatkan. Hati-hati!’’
Setelah berkata demikian, lelaki itu kemudian pamit lalu. Tanpa menengok sedikit pun. Dari belakang kau melihat langkahnya begitu mantap. Sesekali terantuk. Sesekali berusaha sekuat tenaga mencabut tapak kakinya yang terendam pasir. Angin berhembus kencang mengangkat ribuan butir pasir ke udara bersama hilangnya lelaki itu dari pandangan matamu.
Lama kau berdiri di situ sebelum memutuskan untuk berjalan ke arah sebaliknya. Kau menurunkan kain ke wajahmu untuk mencegah butiran pasir menggasak muka dan matamu. Kau berjalan lambat melintasi lumpur pasir sahara yang menanam langkah-langkahmu. Kau sedang menuju dermaga. Menaiki kapal-kapal dagang yang menuju daratan tenggara. Jawa! ***

Perempuan Kecil Bermata Belati

Cerpen: Ahmadun Yosi Herfanda

Mulanya hanyalah seorang pengemis kecil yang kudorong dengan kasar sehingga jatuh terduduk ke gundukan batu-batu. Muncul dari sekelompok pengemis yang menunggu para pendaki di tepi jalan setapak menuju Gua Hira, gadis kecil itu mencegatku di deretan paling depan dan langsung menggelayuti sajadahku dengan cengkeraman yang begitu kuat. "Ana miskin...ana miskin...," rengeknya dengan tatapan mata iba sambil menadahkan tangan kanannya ke dadaku.
Ketika itu aku benar-benar kehabisan uang kecil, karena terlalu banyaknya pengemis di sepanjang jalan setapak itu --konon mereka datang dari daerah-daerah miskin di Asia Tengah. Kalaupun masih ada uang receh di dompetku, paling kecil 10 dinar dan ini pecahan yang tidak lazim dibagikan kepada pengemis. Tetapi, ternyata tidak gampang untuk menolak pengemis-pengemis yang rata-rata masih di bawah umur itu. Mereka akan menggelayuti tangan, ujung baju, sarung, sajadah, atau apa saja, untuk memaksa pendaki memberi mereka uang receh.

Begitulah dengan gadis kecil yang menggelayuti ujung sajadahku, sehingga aku sulit untuk meneruskan perjalanan. Barkali-kali aku mencoba menolaknya dengan halus, dengan bahasa Inggris campur Arab, "No money... no more... no more.... La... la... Ana laisa fulus... laisa fulus...Halas...halas!" kataku sambil menggerakkan tangan dengan isyarat menolak, dengan harapan ia mengerti maksudku dan segera melepaskan ujung sajadahku.

Tapi, gadis kecil itu masih menggelayut begitu kuat di ujung sajadahku, sampai terjadi tarik-menarik sajadah antara aku dengan si kecil yang punya "daya juang" tinggi itu. Maka, dengan agak marah, kutarik sekeras-kerasnya sajadahku, lepas dari cengkeramannya. Dan, ketika gadis kecil itu tetap memburuku untuk meraih ujung baju kokoku, kuhempaskan dia dengan kasar, sehingga terhuyung-huyung jatuh terduduk ke atas gundukan batu-batu. "Ana miskin... ana miskin...," rengeknya dengan tatapan mata cokelat yang makin mengiba ke arahku.

Dan, tatapan itulah yang terus memburuku, terus menusuk-nusuk ulu hatiku, sampai aku kembali ke hotel. Saat makan malam, tiap menjelang shalat, dan terutama menjelang tidur, mata cokelat perempuan kecil itu seperti hadir kembali dengan seluruh dirinya. Wajahnya yang oval dengan hidung mancung, alisnya yang tebal dengan mata cokelat bulat lebar --wajah khas Afghanistan-- dengan rambut panjang hitam kemerahan dikepang dua, seakan hadir seluruhnya dengan begitu nyata. Dan, suaranya seperti terngiang-ngiang kembali di telingaku, "Ana miskin... ana miskin...."
***

Perempuan kecil itu sebenarnya sangat cantik. Setidaknya, di atas rata-rata anak perempuan Indonesia. Usianya mungkin baru sekitar 10 tahun. Posturnya yang tinggi-padat dengan kulit kuning bersih sebenarnya kurang pas dengan pekerjaannya sebagai pengemis. Apalagi di bukit terpencil yang terik di siang hari dan menggigilkan di malam hari. Hanya rok hijau lusuhnya yang kumal dan robek-robek, dan rambutnya yang tidak terurus, yang memberi kesan dia sebagai gembel.

Sejujurnya, ketika itu kami juga sedang merindukan anak perempuan, untuk melengkapi dua anak laki-laki kami. Dan, doa inilah yang berulang-ulang kuucapkan di multazamm --tempat berdoa yang paling mustajab-- sehabis wukuf. "Kamu merindukan anak perempuan....Kamu terus berdoa memohon anak perempuan. Tetapi, kenapa kau tolak kehadiran anak perempuan, bahkan kau sakiti hatinya?" Sebuah suara tiba-tiba menyambar batinku.

Ya, perempuan kecil itu memang cukup mewakili sosok anak perempuan yang kurindukan, cantik, sehat, dan cerdas. Namun, tentu bukan pengemis. Jelas aku takkan ikhlas anakku jadi peminta-minta. Anakku harus mandiri dan banyak memberi. Bukan banyak meminta. Tapi, mengapa wajah perempuan kecil itu terus memburuku dan tatapan mata ibanya terus menusuk-nusukkan belati ke ulu hatiku?
***

Keesokan harinya aku benar-benar kembali mendaki Jabal Noor (Bukit Cahaya) untuk menemukan gadis kecil bermata belati itu. Kuingat betul wajah kekanakannya, mata bulat cokelatnya, alis tebalnya, hidung mancungnya, bibir merekahnya, dan rambutnya yang hitam kemerahan dan dikepang dua. Juga kuingat baju hijau lusuhnya yang robek lengan dan ujung kanannya, kaki telanjangnya yang ramping, dari kelompok pengemis mana ia muncul dan di mana ia kuhempaskan.

Tetapi anehnya, sesampai di lereng yang kuyakini sebagai tempat perempuan kecil bermata belati itu kuhempaskan, tak ada satu pun pengemis yang mencegatku. Beberapa pengemis kecil, kebanyakan perempuan, tetap asyik bermain di dekat bebatuan atau duduk-duduk santai di atas gundukan batu. Kusapukan pandanganku berkali-kali ke seluruh penjuru lereng itu, tapi tidak kutemukan juga perempuan kecil bermata belati itu. Akhirnya, anak-anak gembel itulah yang kupanggil untuk mendekat sambil berharap perempuan kecil yang kucari itu segera muncul dari balik bebatuan atau dari dalam gubuk kayu beratap kain-kain lusuh tidak jauh dari jalan setapak itu.

Beberapa kelompok pengemis kecil sudah mendekat dan segera pergi lagi setelah semua mendapat uang receh dariku, tapi tidak kutemukan juga perempuan kecil bermata belati yang kucari itu. "Ah, mungkin anak itu sudah pindah ke lereng yang agak ke atas," pikirku.

Aku sudah hendak melangkahkan kaki untuk mendaki lagi, namun ujung sajadahku tiba-tiba terasa berat. Aku menengok ke belakang, dan kulihat seorang perempuan kecil menggelayut di ujung sajadah tipis yang kuikatkan di pinggangku. "Ini dia!" teriakku dalam hati. Aku yakin, dialah perempuan kecil bermata belati yang kucari itu. Kurogoh saku baju kokoku, dan kuberi dia beberapa dinar. "Syukron... syukron!" katanya sambil menghitung-hitung uang itu dan meloncat-loncat kecil menjauhiku.

Melihat kegembiraan itu, dadaku terasa plong, seperti baru saja melunasi hutang pada kawan sekantor yang begitu mengganjal perasaan karena ia sering menagihnya. Maka, dengan perasaan lega akupun meneruskan perjalanan ke puncak, sebab masih terlalu siang untuk kembali ke hotel. Setidaknya, aku bisa shalat Ashar di puncak Jabal Noor atau di Gua Hira --tempat Nabi Muhammad SAW dulu menerima wahyu pertama.

Tetapi, baru sekitar 50 meter melangkah, aku melihat gadis kecil yang sangat mirip dengan perempuan kecil bermata belati yang kucari. Penampilannya masih seperti kemarin. Rambutnya masih dikepang dua, dan ketika kudekati, tatapan ibanya yang mengandung belati masih tajam menusuk ulu hatiku. "Ah, jangan-jangan ini yang benar," pikirku. Dan yang bersamanya, aku ingat, adalah pengemis-pengemis kecil yang kemarin juga. Hanya warna bajunya, lagi-lagi, yang berbeda. Kemarin hijau lusuh, kini kuning kecoklatan. Maka, kurogoh lagi saku bajuku lalu kuberi dia lima dinar. Dengan wajah terbengong-bengong gadis kecil itu menerimanya.

Namun, ketika aku hendak melangkah lagi, tiba-tiba ada yang terasa menggelayuti tangan kiriku, dan ternyata seorang perempuan kecil yang wajahnya sangat mirip dengan gadis kecil bermata belati yang baru saja berlalu. Rambutnya pun hitam kemerahan dan dikepang dua. Bajunya juga hijau lusuh seperti baju gadis kecil yang kucari itu. "Ana miskin... Ana miskin...," rengeknya sambil menadahkan tangan kanannya, persis seperti rengek perempuan kecil yang kemarin kuhempaskan ke atas gundukan batu.

Ini yang benar, pikirku. Inilah perempuan kecil yang kucari. Maka, segera kurogoh lagi saku celana jinku, dan kuberikan beberapa dinar kepadanya. Tetapi, bersamaan dengan itu, seperti serentak muncul pengemis-pengemis kecil dari balik bongkahan batu, dari celah bukit, dari dalam gubuk-gubuk beratap kain lusuh, lima, sepuluh, lima belas, tiga puluh .... dan banyak di antara mereka yang wajahnya sangat mirip dengan perempuan kecil bermata belati yang kemarin kuhempaskan itu. Mereka melangkah serentak ke arahku, seperti mumi-mumi hidup, dengan pakaian compang-camping, sambil menadahkan tangan dan koor, "Ana miskin... ana miskin...."

Dengan begitu cepat pengemis-pengemis kecil itu mengepungku, sehingga aku tak dapat menghindar dari mereka. Dengan agresif tangan-tangan kecil mereka pun menadah di sekelilingku, bertempelan di dadaku, di lengan kanan-kiriku, di punggungku. Dan, dengan tatapan-tatapan iba yang menghunjamkan puluhan pisau belati ke ulu hatiku, mereka memaksaku untuk menguras seluruh isi saku bajuku, saku celanaku, dan dompetku. Dengan tangan gemetar dan perasaan tak menentu, kubagikan semua sisa recehan satu dinar, lima dinar, dan bahkan sepuluh dinarku.

Satu demi satu mereka pun pergi meninggalkanku, kembali ke balik bongkahan-bongkahan batu, ke dalam gukuk-gubuk beratap kain lusuh dan ke celah-celah pebukitan tandus Jabal Noor. Dengan tubuh lemas dan perasaan tak menentu, akhirnya aku turun, dan langsung menuju Masjidil Haram. Usai shalat Ashar aku meninggalkan masjid untuk kembali ke hotel. Tapi, di pintu keluar aku masih dicegat seorang perempuan kecil bermata belati itu. Dan, ini yang paling persis di antara gadis-gadis kecil bermata belati yang kutemukan di Jabal Noor tadi. Rambutnya masih dikepang dua, dan roknya juga masih hijau lusuh dengan robekan kecil pada lengan kiri dan ujung bawah kanannya.

Maka, tanpa pikir panjang kurogoh dompetku dan kucari sisa uang receh yang ada. Tapi, tak ada lagi uang receh di sana. Yang kutemukan tinggal selembar 50 dinar. Dan, tidak tahu apa yang terjadi dengan diriku, uang itu kuberikan begitu saja padanya. Sampai di kamar hotel aku baru sadar, yang kuberikan pada perempuan kecil bermata belati itu ternyata satu-satunya sisa uang sakuku. ***

Makkah-Jakarta, 1994-2004

Pagi Bening Seekor Kupu-Kupu

Cerpen: Agus Noor

1.
AKU terbang menikmati harum cahaya pagi yang bening keemasan bagai diluluri madu, dan terasa lembut di sayap-sayapku. Sungguh pagi penuh anugerah buat kupu-kupu macam aku. Kehangatan membuat bunga-bunga bermekaran dengan segala kejelitaannya, dan aku pun melayang-layang dengan tenang di atasnya.
Sesaat aku menyaksikan bocah-bocah manis yang berbaris memasuki taman, dengan topi dan pita cerah menghiasi kepala mereka. Aku terbang ke arah bocah-bocah itu. Begitu melihatku, mereka segera bernyanyi sembari meloncat-loncat melambai ke arahku, "Kupu-kupu yang lucuuu, kemana engkau pergiii, hilir mudik mencariii…"
Aku selalu gembira setiap kali bocah-bocah itu muncul. Biasanya seminggu sekali mereka datang ke taman ini, diantar ibu guru yang penuh senyuman mengawasi dan menemani bocah-bocah itu bermain dan belajar. Berada di alam terbuka membuat bocah-bocah itu menemukan kembali keriangan dan kegembiraannya. Taman penuh bunga memang terasa menyenangkan, melebihi ruang kelas yang dipenuhi bermacam mainan. Sebuah taman yang indah selalu membuat seorang bocah menemukan keluasan langit cerah. Ah, tahukah, betapa aku sering berkhayal bisa terbang mengarungi langit jernih dalam mata bocah-bocah itu? Siapa pun yang menyaksikan pastilah akan terpesona: seekor kupu-kupu bersayap jelita terbang melayang-layang dalam bening hening mata seorang bocah…
Aku pingin menjadi seperti bocah-bocah itu! Menjadi seorang bocah pastilah jauh lebih menyenangkan ketimbang terus-menerus menjadi seekor kupu-kupu. Alangkah bahagianya bila aku bisa menjadi seorang bocah lucu yang matanya penuh kupu-kupu. Terus kupandangi bocah-bocah itu. Alangkah riangnya. Alangkah gembiranya. Uupp, tapi kenapa dengan bocah yang satu itu?! Kulihat bocah itu bersandar menyembunyikan tubuhnya di sebalik pohon. Dia seperti tengah mengawasi bocah-bocah yang tengah bernyanyi bergandengan tangan membentuk lingkaran di tengah taman itu…
Seketika aku waswas dan curiga: jangan-jangan bocah itu bermaksud jahat --dia seperti anak-anak nakal yang suka datang ke taman ini merusak bunga dan memburu kupu-kupu sepertiku. Tapi tidak, mata bocah itu tak terlihat jahat. Sepasang matanya yang besar mengingatkanku pada mata belalang yang kesepian. Dia kucel dan kumuh, meringkuk di balik pohon seperti cacing yang menyembunyikan sebagian tubuhnya dalam tanah, tak ingin dipergoki. Mau apa bocah itu? Segera aku terbang mendekati…
Aku bisa lebih jelas melihat wajahnya yang muram kecoklatan, mirip kulit kayu yang kepanasan kena terik matahari. Dia melirik ke arahku yang terbang berkitaran di dekatnya. Memandangiku sebentar, kemudian kembali mengawasi bocah-bocah di tengah taman yang tengah main kejar-kejaran sebagai kucing dan tikus. Aku lihat matanya perlahan-lahan sebak airmata, seperti embun yang mengambang di ceruk kelopak bunga. Aku terbang merendah mendekati wajahnya, merasakan kesedihan yang coba disembunyikannya. Dia menatapku begitu lama, hingga aku bisa melihat bayanganku berkepakan pelan, memantul dalam bola matanya yang berkaca-kaca…
Terus-menerus dia diam memandangiku.

2.
HERAN nih. Dari tadi kupu-kupu itu terus terbang mengitariku. Kayaknya dia ngeliatin aku. Apa dia ngerti kalau aku lagi sedih? Mestinya aku nggak perlu nangis gini. Malu. Tapi nggak papalah. Nggak ada yang ngeliat. Cuman kupu-kupu itu. Ngapain pula mesti malu ama kupu-kupu?! Dia kan nggak ngerti kalau aku lagi sedih. Aku pingin sekolah. Pingin bermain kayak bocah-bocah itu. Gimana ya rasanya kalau aku bisa kayak mereka?
Pasti seneng. Nggak perlu ngamen. Nggak perlu kepanasan. Nggak perlu kerja di pabrik kalau malem, ngepakin kardus. Nggak pernah digebukin bapak. Kalau ajah ibu nggak mati, dan bapak nggak terus-terusan mabuk, pasti aku bisa sekolah. Pasti aku kayak bocah-bocah itu. Nyanyi. Kejar-kejaran. Nggak perlu takut ketabrak mobil kayak Joned. Hiii, kepalanya remuk, kelindes truk waktu lari rebutan ngamen di perempatan.
Aku senang tiduran di sini. Sembunyi-sembunyi. Nggak boleh keliatan, entar diusir petugas penjaga kebersihan taman. Orang kayak aku emang nggak boleh masuk taman ini. Bikin kotor --karena suka tiduran, kencing dan berak di bangku taman. Makanya, banyak tulisan dipasang di pagar taman: Pemulung dan Gelandangan Dilarang Masuk. Makanya aku ngumpet gini. Ngeliatin bocah-bocah itu, sekalian berteduh bentar.
Kalau ajah aku bebas main di sini. Wah, seneng banget dong! Aku bisa lari kenceng sepuasnya. Loncat-loncat ngejar kupu-kupu. Nggak, nggak! Aku nggak mau nangkepin kupu-kupu. Aku cuman mau main kejar-kejaran ama kupu-kupu. Soalnya aku paling seneng kupu-kupu. Aku sering mengkhayal aku jadi kupu-kupu. Pasti asyik banget. Punya sayap yang indah. Terbang ke sana ke mari. Sering aku bikin kupu-kupu mainan dari plastik sisa bungkus permen yang warna-warni. Aku gunting, terus aku pasang pakai lem. Kadang cuman aku ikat pakai benang aja bagian tengahnya. Persis sayap kupu beneran! Kalau pas ada angin kenceng, aku lemparin ke atas. Wuuss… Kupu-kupuan plastik itu terbang puter-puter kebawa angin. Kalau jumlahnya banyak, pasti tambah seru. Aku kayak ngeliat banyak banget kupu-kupu yang beterbangan…
Ih, aneh juga kupu-kupu ini! Dari tadi terus muterin aku. Apa dia ngerti ya, kalau aku suka kupu-kupu? Apa dia juga tau kalau aku sering ngebayangin jadi kupu-kupu? Apa kupu-kupu juga bisa nangis gini kayak aku? Bagus juga tuh kupu. Sayapnya hijau kekuning-kuningan. Ada garis item melengkung di tengahnya. Kalau saja aku punya sayap seindah kupu-kupu itu, pasti aku bisa terbang nyusul ibu di surga. Ibu pasti seneng ngelus-elus sayapku…
Aku terus ngeliatin kupu-kupu itu. Apa dia ngerti yang aku pikirin ya?

3.
BERKALI-KALI, kupu-kupu dan si bocah bertemu di taman itu.
Kupu-kupu itu pun akhirnya makin tahu kebiasaan si bocah, yang suka sembunyi di sebalik pohon. Sementara bocah itu pun jadi hapal dengan kupu-kupu yang suka mendekatinya dan terus-menerus terbang berkitaran di dekatnya. Kupu-kupu itu seperti menemukan serimbun bunga perdu liar di tengah bunga-bunga yang terawat dan ditata rapi, membuatnya tergoda untuk selalu mendekati. Kadang kupu-kupu itu hinggap di kaki atau lengan bocah itu. Bahkan sesekali pernah menclok di ujung hidungnya. Hingga bocah itu tertawa, seakan bisa merasa kalau kupu-kupu itu tengah mengajaknya bercanda.
Kupu-kupu dan bocah itu sering terlihat bermain bersama, dan kerap terlihat bercakap-cakap. Dan apabila tak ada penjaga taman (biasanya selepas tengah hari saat para penjaga taman itu selesai makan siang lalu dilanjutkan tiduran santai sembari menikmati rokok) maka kupu-kupu itu pun mengajak si bocah kejar-kejaran ke tengah taman.
"Ayolah, kejar aku! Jangan loyo begitu…," teriak kupu-kupu sembari terus terbang ke arah tengah taman.
Dan si bocah pun berlarian tertawa-tawa mengejar kupu-kupu itu.
"Kamu curang! Kamu curang! Bagaimana aku bisa mengejarmu kalau kamu terus terbang?! Kamu curang! Tungguuu kupu-kupuuu… Tungguuuu…"
Kupu-kupu itu terus terbang meliuk-liuk riang. Lalu kupu-kupu itu hinggap di setangkai pohon melati. Kupu-kupu itu menunggu si bocah yang berlarian mendekatinya dengan napas tersengal-sengal.
"Coba kalau aku juga punya sayap, pasti aku bisa mengejarmu…," bocah itu berkata sambil memandangi si kupu-kupu.
"Apakah kamu yakin, kalau kamu punya sayap kamu pasti bisa menangkapku?"
"Pasti! Pasti!"
Kupu-kupu itu tertawa --dan hanya bocah itu yang bisa mendengar tawanya.
"Benarkah kamu ingin punya sayap sepertiku?" tanya kupu-kupu.
"Iya dong! Pasti senang bisa terbang kayak kamu. Asal tau ajah, aku tuh sebenernya sering berkhayal bisa berubah jadi kupu-kupu…" Lalu bocah itu pun bercerita soal mimpi-mimpi dan keinginannya. Kupu-kupu itu mendengarkan dengan perasaan diluapi kesyahduan, karena tiba-tiba ia juga teringat pada impian yang selama ini diam-diam dipendamnya: betapa inginnya ia suatu hari menjelma menjadi manusia…
"Benarkah kamu sering membayangkan dirimu berubah jadi kupu-kupu? Apa kamu kira enak jadi kupu-kupu seperti aku?"
"Pasti enak jadi kupu-kupu seperti kamu…"
"Padahal aku sering membayangkan sebaliknya, betapa enaknya jadi bocah seperti kamu…"
"Enakan juga jadi kamu!" tegas bocah itu.
"Lebih enak jadi kamu!" jawab kupu-kupu.
"Lebih enak jadi kupu-kupu!"
"Lebih enak jadi bocah sepertimu!"
Setiap kali bertemu, setiap kali berbicara soal itu, kupu-kupu dan bocah itu semakin saling memahami apa yang selama ini mereka inginkan. Bocah itu ingin berubah jadi kupu-kupu. Dan kupu-kupu itu ingin menjelma jadi si bocah.
"Kenapa kita tak saling tukar saja kalau begitu?" kata kupu-kupu.
"Saling tukar gimana?"
"Aku jadi kamu, dan kamu jadi aku."
"Apa bisa? Gimana dong caranya?"
"Ya saling tukar saja gitu…"
"Kayak saling tukar baju?" Bocah itu ingat kalau ia sering saling tukar baju dengan temen-temen ngamennya, biar kelihatan punya banyak baju. "Iya, gitu?"
"Hmm, mungkin seperti itu..."
Keduanya saling pandang. Ah, pasti akan menyenangkan kalau semua itu terjadi. Aku akan berubah jadi kupu-kupu, batin bocah itu. Aku akan bahagia sekali kalau aku memang bisa menjelma manusia, desah kupu-kupu itu dengan berdebar hingga sayap-sayapnya bergetaran.
"Bagaimana?" kupu-kupu itu bertanya.
"Bagaimana apa?"
"Jadi nggak kita saling tukar? Sebentar juga nggak apa-apa. Yang penting kamu bisa merasakan bagaimana rasanya menjadi kupu-kupu. Dan aku bisa merasakan bagaimana kalau jadi bocah seperti kamu. Setelah itu kita bisa kembali lagi jadi diri kita sendiri. Aku kembali jadi kupu-kupu lagi. Dan kamu kembali lagi jadi dirimu. Gimana?"
Si bocah merasa gembira dengan usul kupu-kupu itu. Gagasan yang menakjubkan, teriaknya girang. Lalu ia pun mencopot tubuhnya, agar kupu-kupu itu bisa merasuk ke dalam tubuhnya. Dan kupu-kupu itu pun segera melepaskan diri dari tubuhnya, kemudian menyuruh bocah itu masuk ke dalam tubuhnya. Begitulah, keduanya saling berganti tubuh. Bocah itu begitu senang mendapati dirinya telah berwujud kupu-kupu. Sedangkan kupu-kupu itu merasakan dirinya telah bermetamorfosa menjadi manusia.

4.
WAH enak juga ya jadi kupu-kupu! Bener-bener luar biasa. Lihat, sinar matahari jadi kelihatan berlapis-lapis warna-warni lembut tipis, persis kue lapis. Aku juga ngeliat cahaya itu jadi benang-benang keemasan, berjuntaian di sela-sela dedaunan. Aku jadi ingat benang gelasan yang direntangkan dari satu pohon ke pohon yang lain, setiap kali musim layangan. Aku lihat daun-daun jadi tambah menyala tertimpa cahaya. Semuanya jadi nampak lebih menyenangkan. Dengan riang aku melonjak-lonjak terbang. Terlalu girang sih aku. Jadi terbangku masih oleng dan nyaris nubruk ranting pohon.
"Hati-hati!"
Kudengar teriakan, dan kulihat kupu-kupu yang kini telah merasuk ke dalam tubuh bocahku. Dia kelihatan panik memandangi aku yang terbang jumpalitan. Aku bener-bener gembira. Tak pernah aku segembira ini. Emang nyenengin kok jadi kupu-kupu.
Aku terus terbang dengan riang…

5.
TUBUHKU perlahan-lahan berubah, dan mulai bergetaran keluar selongsong kepompong. Kemudian kudengar gema bermacam suara yang samar-samar, seakan-akan menghantarkan kepadaku cahaya pertama kehidupan yang berkilauan. Dan aku pun seketika terpesona melihat dunia untuk pertama kalinya, terpesona oleh keelokan tubuhku yang telah berubah. Itulah yang dulu aku rasakan, ketika aku berubah dari seekor ulat menjadi kupu-kupu. Dan kini aku merasakan keterpesonaan yang sama, ketika aku mendapati diriku sudah menjelma seorang bocah. Bahkan, saat ini, aku merasakan kebahagiaan yang lebih meruah dan bergairah.
Aku pernah mengalami bagaimana rasanya bermetamorfosa, karena itu aku bisa menahan diri untuk lebih menghayati setiap denyut setiap degup yang menandai perubahan tubuhku. Aku merasakan ada suara yang begitu riang mengalir dalam aliran darahku, seperti berasal dari jiwaku yang penuh tawa kanak-kanak. Aku ingin melonjak terbang karena begitu gembira. Tapi tubuhku terasa berat, dan aku ingat: aku kini tak lagi punya sayap.
Lalu kulihat bocah itu, yang telah berubah menjadi kupu-kupu, terbang begitu riang hingga nyaris menabrak ranting pepohonan. Aku berteriak mengingatkan, tetapi bocah itu nampaknya terlalu girang dalam tubuh barunya. Dia pasti begitu bahagia, sebagaimana kini aku berbahagia.
Kusaksikan bocah itu terbang riang mengitari taman, kemudian hilang dari pandangan. Aku pun segera melenggang sembari bersiul-siul. Tapi aku langsung kaget ketika seorang penjaga taman menghardikku, "Hai!! Keluar kamu bangsat cilik!" Kulihat penjaga taman itu mengacungkan pemukul kayu ke arahku. Segera aku kabur keluar taman.

6.
KETIKA bocah yang telah berubah menjadi kupu-kupu itu terbang melintasi etalase pertokoan, ia bisa melihat bayangan tubuhnya bagai mengambang di kaca, dan ia memuji penampilannya yang penuh warna. Sayapnya hijau kekuning-kuningan dengan garis hitam melengkung di bagian tengahnya. Rasanya seperti pangeran kecil berjubah indah.
Tapi segera ia menjadi gugup di tengah lalu lalang orang-orang yang bergegas. Bising lalu lintas membuatnya cemas. Puluhan sepeda motor dan mobil-mobil mendengung-dengung mirip serangga-serangga raksasa yang siap melahapnya. Ia gemetar, tak berani menyeberang jalan. Dari kejauhan ia melihat truk yang menderu bagai burung pelatuk yang siap mematuk. Tiba-tiba ia menyadari, betapa mengerikannya kota ini buat seekor kupu-kupu sekecil dirinya. Sungguh, kota ini dibangun bukan untuk kupu-kupu sepertiku. Ia merasakan dirinya begitu rapuh di tengah kota yang semerawut dan bergemuruh. Gedung-gedung jadi terlihat lebih besar dan begitu menjulang dalam pandangannya. Tiang-tiang dan bentangan kawat-kawat tampak seperti perangkap yang siap menjerat dirinya. Semua itu benar-benar tak pernah terbayangkan olehnya. Ketika ia sampai dekat stasiun kereta, ia menyaksikan trem-trem yang berkelonengan bagaikan sekawanan ular naga dengan mahkota berlonceng terpasang di atas kepala mereka. Sekawanan ular naga yang menjadi kian mengerikan ketika malam tiba. Ia menyaksikan orang-orang yang keluar masuk perut naga itu, seperti mangsa yang dihisap dan dikeluarkan dari dalam perutnya…
Ia begitu gemetar menyaksikan itu semua, dan buru-buru ingin pergi. Ia ingin kembali ke taman itu. Ia ingin segera kembali menjadi seorang bocah.

7.
SEMENTARA itu, kupu-kupu yang telah berubah jadi bocah seharian berjalan-jalan keliling kota. Lari-lari kecil keluar masuk gang. Main sepak bola. Bergelantungan naik angkot. Kejar-kejaran di atas atap kereta yang melaju membelah kota. Rame-rame makan bakso. Ia begitu senang karena bisa melakukan banyak hal yang tak pernah ia lakukan ketika dirinya masih berupa seekor kupu-kupu.
Tengah malam ia pulang dengan perasaan riang, sembari membayangkan rumah yang bersih dan tenang. Hmm, akhirnya aku bisa merasakan bagaimana enaknya tidur dalam sebuah rumah. Selama ini ia hanya tidur di bawah naungan daun, kedinginan didera angin malam. Rasanya ia ingin segera menghirup semua ketenangan yang dibayangkannya.
Tapi begitu ia masuk rumah, langsung ada yang membentak, "Dari mana saja kamu!" Ia lihat seorang laki-laki yang menatap nanar ke arahnya. Ia langsung mengkerut. Ia tak pernah membayangkan akan menghadapi suasana seperti ini.
"Brengsek! Ditanya diam saja," laki-laki itu kembali membentak, mulutnya sengak bau tuak. Inikah ayah bocah itu? Ia ingat, bocah itu pernah bercerita tentang bapaknya yang seharian terus mabuk dan suka memukulinya. Ia merasakan ketakutan yang luar biasa ketika laki-laki itu mencekik lehernya. "Uang!" bentak laki-laki itu, "Mana uangnya?! Brengsek! Berapa kali aku bilang, kamu jangan pulang kalau nggak bawa uang!"
Ia meronta berusaha melepaskan diri, membuat laki-laki itu bertambah marah dan kalap. Ia rasakan tamparan keras berkali-kali. Ia rasakan perih di kulit kepalanya ketika rambutnya ditarik dan dijambak, lantas kepalanya dibentur-benturkan ke dinding. Ia merasakan cairan kental panas meleleh keluar dari liang telinganya. Kemudian perlahan-lahan ia merasakan ada kegelapan melilit tubuhnya, seakan-akan membungkus dirinya sebagai kepompong. Ia rasakan sakit yang bertubi-tubi menyodok ulu hati. Membuatnya muntah. Saat itulah bayangan bocah itu melintas, dan ia merasa begitu marah. Kenapa dia tak pernah cerita kalau bapaknya suka menghajar begini? Ia megap-megap gelagapan ketika kepalanya berulang-ulang dibenamkan ke bak mandi…

8.
UDAH hampir seharian aku nunggu. Kok dia belum muncul juga ya? Aku mulai bosen jadi kupu-kupu begini. Cuma terbang berputar-putar di taman. Habis, aku takut terbang jauh sampai ke jalan raya kayak kemarin sih! Takut ketubruk, dan sayap-sayapku remuk. Padahal sebelum jadi kupu-kupu, aku paling berani nerobos jalan. Aku juga bisa berenang, dan menyelam sampai dasar sungai ngerukin pasir. Sekarang, aku cuman terbang, terus-terusan terbang. Nyenengin sih bisa terbang, tapi lama-lama bosen juga. Apalagi kalau cuman berputar-putar di taman ini.
Cukup deh aku ngrasain jadi kupu-kupu gini. Banyak susahnya. Apa karna aku nggak terbiasa jadi kupu-kupu ya? Semaleman ajah aku kedinginan. Tidur di ranting yang terus goyang-goyang kena angin, kayak ada gempa bumi ajah. Aku ngeri ngeliat kelelawar nyambar-nyambar. Ngeri, karena aku ngerasa enggak bisa membela diri. Waktu jadi bocah aku berani berkelahi kalau ada yang ngancem atau ganggu aku. Sekarang, sebagai kupu-kupu, aku jadi ngerasa gampang kalahan. Nggak bisa jadi jagoan! Karna itu aku ingin cepet-cepet berhenti jadi kupu-kupu...
Nggak bisa deh kalau hanya nunggu-nunggu begini. Gelisah tau! Kan kemarin dia janji, hanya mau tukar sebentar. Apa dia keenakan jadi aku, ya? Jangan-jangan dia lagi rame-rame ngelem ama kawan-kawannku. Atau dia lagi didamprat ayah? Ah, moga-moga ajah tidak. Tapi ngapain sampai gini hari belum datang juga? Terus terang aku udah cemas. Aku mesti ketemu dia. Aku nggak mau terus-terusan jadi kupu-kupu gini.
Baiklah, daripada cemas gini, mendingan aku nyusul dia. Apa dia pulang ke rumahku ya? Aku mesti nyari dia, ah!

9.
IA mendapati kemurungan di sekitar rumahnya. Bocah yang telah menjadi kupu-kupu itu bisa merasakan indera kupu-kupunya menangkap kelebat firasat, sebagaimana indera serangga bila merasakan bahaya. Ia mencium bau kematian, bagaikan bau nektar yang menguar. Dan ia bergegas terbang masuk rumah. Ia tercekat mendapati tubuh bocah itu terbujur di ruang tamu. Memar lebam membiru, mengingatkannya pada rona bunga bakung layu. Apa yang terjadi? Alangkah menyedihkan melihat jazad sendiri. Segalanya terasa mengendap pelan, namun menenggelamkan. Ia terbang berkelebat mendekati para tetangganya yang duduk-duduk bercakap-cakap pelan. Kemudian ia mencoba mengajak para tetangga itu bercakap-cakap dengan isyarat kepakan sayapnya. Tapi tak ada yang memahami isyaratnya. Tentu saja mereka tak tahu bagaimana caranya berbicara pada seekor kupu-kupu sepertiku! Dan ia merasa kian ditangkup sunyi, terbang berputar-putar di atas jazadnya. Ia merasakan duka itu, melepuh dalam mata yang terkatup. Sepasang kelopak mata yang membiru itu terlihat seperti sepasang sayap kupu-kupu yang melepuh rapuh. Ia terbang merendah, dan mencium kening jazad itu. Saat itulah ia mendengar percakapan beberapa pelayat.
"Lihat kupu-kupu itu…"
"Aneh, baru kali ini aku melihat kupu-kupu hinggap di kening orang mati."
"Kupu-kupu itu seperti menciumnya…"
"Mungkin kupu-kupu itu tengah bercakap-cakap dengan roh yang barusan keluar dari tubuh bocah itu."
Bocah yang telah berubah menjadi kupu-kupu itu kemudian terbang keluar ruangan, dan orang-orang yang melihatnya seperti menyaksikan roh yang tengah terbang keluar rumah. Tapi ke mana roh kupu-kupu itu? Ia tak tahu ke mana roh kupu-kupu itu pergi. Apa sudah langsung terbang membumbung ke langit sana? Apakah kalau kupu-kupu mati juga masuk surga?
Di surga, aku harap roh kupu-kupu itu bertemu ibuku. Aku ingin dia bercerita pada ibuku, bagaimana kini aku telah menjadi seekor kupu-kupu yang terus-menerus dirundung rindu. Semua kejadian berlangsung bagaikan bayang-bayang yang dengan gampang memudar namun terus-menerus membuatku gemetar.
Bunga-bunga mekar dan layu, sementara aku masih saja selalu merasa perih setiap mengingat kematian kupu-kupu yang menjelma jadi diriku itu. Kuharap bapak membusuk di penjara. Aku terbang, terus terbang, berusaha meneduhkan kerisauanku. Aku ingin terbang menyelusup ke mimpi setiap orang, agar mereka bisa mengerti kerinduan seorang bocah yang berubah menjadi kupu-kupu. Dapatkah engkau merasakan kesepian seorang bocah yang berubah menjadi kupu-kupu seperti aku?
Aku terbang mencari taman yang dapat menentramkanku. Aku terbang mengitari taman-taman rumah yang menarik perhatianku. Aku suka bertandang ke rumah-rumah yang penuh keriangan kanak-kanak. Keriangan seperti itu selalu mengingatkan pada seluruh kisah dan mimpi-mimpiku. Aku suka melihat anak-anak itu tertawa. Aku suka terbang berkitaran di dekat jendela kamar tidur mereka.
Seperti pagi ini. Dari jendela yang hordennya separuh terbuka, aku menyaksikan bocah perempuan yang masih tertidur pulas. Kamar itu terang, dan cahaya pagi membuatnya terasa lebih tenang. Sudah sejak beberapa hari lalu aku memperhatikan bocah perempuan itu. Dari luar jendela, dia terlihat seperti peri cilik cantik yang terkurung dalam kotak kaca. Aku terbang menabrak-nabrak kaca jendelanya. Aku ingin masuk ke dalam kamar bocah perempuan itu. Betapa aku ingin menyelusup ke dalam mimpinya…

10.
HANGAT pagi mulai terasa menguap di horden jendela yang setengah terbuka, tetapi kamar berpendingin udara itu tetap terasa sejuk. Bocah perempuan itu masih meringkuk dalam selimut. Sebentar ia menggeliat, dan teringat kalau hari ini Mamanya akan mengajak jalan-jalan. Karena itu, meski masih malas, bocah perempuan itu segera bangun, dan ia terpesona menatap cahaya bening matahari di jendela. Seperti sepotong roti panggang yang masih panas diolesi mentega, cahaya matahari itu bagaikan meleleh di atas karpet kamarnya. Cuping hidung bocah itu kembang-kempis, seakan ingin menghirup aroma pagi yang harum dan hangat.
Di luar jendela, dilihatnya seekor kupu-kupu tengah terbang menabrak-nabrak kaca jendela, seperti ingin masuk ke dalam kamarnya. Segera ia mendekati jendela. Ia pandangi kupu-kupu itu. Sayapnya, hijau kekuning-kuningan, bergaris hitam melengkung di tengah-tengahnya. Seperti kupu-kupu dalam mimpiku semalam, gumam bocah perempuan itu. Lalu ia ingat mimpinya semalam: ia bertemu seorang bocah yang telah menjelma kupu-kupu. Terus ia pandangi kupu-kupu itu. Kayaknya kupu-kupu itu yang semalam muncul dalam mimpiku? Jangan-jangan itu memang kupu-kupu yang semalam meloncat keluar mimpiku? Bocah perempuan itu ingin membuka jendela. Tapi jendela itu penuh teralis besi. Lagi pula daun jendelanya dikunci mati, karena orang tuanya takut pencuri. Bocah perempuan itu hanya bisa memandangi kupu-kupu yang terus terbang menabrak-nabrak kaca jendela…
Pintu kamar terbuka, muncul Mamanya yang langsung terkejut mendapati anaknya tengah berdiri gelisah memandangi jendela. "Kenapa?" tanya Mama sambil memeluk putrinya dari belakang, berharap pelukannya akan membuat putrinya tenang.
"Kasihan kupu-kupu itu, Mama…"
"Kenapa kupu-kupu itu?"
"Aku ingin kenal kupu-kupu itu."
"Kamu ingin tahu kupu-kupu? Kamu suka kupu-kupu?"
Bocah perempuan itu mengangguk.
"Kalau gitu cepet mandi, ya. Biar kita bisa cepet jalan-jalan. Nanti habis Mama ke salon kita mampir ke toko buku, beli buku tentang kupu-kupu. Kamu boleh pilih sebanyak-banyaknya… Atau kamu pingin ke McDonald dulu?"
Bocah perempuan itu menatap ibunya. Ia ingin mengatakan sesuatu. Ingin bercerita soal mimpinya semalam. Ingin mengatakan kenapa ia suka pada kupu-kupu di luar itu. Ia ingin menceritakan apa yang dirasakannya, tapi tak tahu bagaimana cara mengatakan pada Mamanya.
Setelah lama terdiam, baru bocah itu berkata, "Gimana ya, Ma… kalau suatu hari nanti aku menjadi kupu-kupu?"
Mamanya hanya tersenyum. Sementara kupu-kupu di luar jendela itu terus-menerus terbang menabrak-nabrak jendela, seperti bersikeras hendak masuk dan ingin menjawab pertanyaan bocah perempuan itu.

11.
PERNAHKAH suatu pagi engkau menyaksikan seekor kupu-kupu bertandang ke rumahmu? Saat itu engkau barangkali tengah sarapan pagi. Engkau tersenyum ke arah anakmu yang berwajah cerah, seakan-akan masih ada sisa mimpi indah yang membuat pipi anakmu merona merah. Engkau segera bangkit ketika mendengar anakmu berteriak renyah, "Papa, lihat ada kupu-kupu!"
Dan engkau melihat kupu-kupu bersayap hijau kekuning-kuningan dengan garis hitam melengkung di bagian tengahnya sedang terbang berputar-putar gelisah di depan pintu rumahmu. Kupu-kupu itu terlihat ragu-ragu ingin masuk ke rumahmu. Apakah yang melintas dalam benakmu, ketika engkau melihat kupu-kupu itu?
Kuharap, pada saat-saat seperti itu, engkau terkenang akan aku: seorang bocah yang telah berubah menjadi seekor kupu-kupu…

Dendang Sepanjang Pematang

Cerpen: M. Arman AZ

Adalah kenangan yang menghimbauku untuk menengok pohon randu itu. Letaknya menjorok sekitar sepuluh meter di sebelah kiri jalan masuk kampung. Dahan-dahannya seperti masa lalu yang merentangkan tangan. Aku tergoda untuk membelokkan langkah ke sana. Bersijingkat menyibak rimbun ilalang setinggi pinggang.
Ohoi, pohon randu, inilah dia si anak hilang. Lama sudah dia tak pulang. Sambut dan peluklah dia sepenuh kenang.

Kutelisik sisi belakang batang randu itu. Sekian tahun silam, menggunakan sebilah belati milik kakek yang kupinjam tanpa izin beliau, aku dan beberapa teman bergiliran memahat nama kami di sana. Tak ada lagi ukiran nama kami. Aku tersenyum kecut menyadari kebodohanku barusan. Bukankah pohon randu terus tumbuh seiring guliran waktu? Kuletakkan pantat di tanah yang lembab. Menyandarkan punggung di kekar batang randu. Kuhela napas haru. Aroma humus dan ilalang mengepung dari segenap penjuru.

Dari pohon yang jadi tapal batas kampung ini dengan kampung seberang, kusaksikan pagi menggeliat lagi. Ufuk timur perlahan benderang. Aku teringat selembar kartu pos bergambar sunrise yang mengintip dari balik punggung gedung-gedung pencakar langit. Seorang teman mengirimnya dari negeri yang jauh. Konon dia sekarang jadi kelasi kapal pesiar. Entah di belahan dunia mana dia kini berada. Masih ingatkah dia pada pohon randu ini? Masih ingatkah dia pada Pak Narto, guru kami dulu? Andai dia tahu beliau telah mangkat, sanggupkah dia lipat jarak dan waktu agar bisa ikut mengantar kepergiannya?

Kemarin siang, di tengah raung mesin pabrik, ponsel tuaku bergetar. Sebuah nomor asing berkedip-kedip gelisah. Aku kaget mendengar suara Ayub. Dia salah seorang sahabatku di kampung. "Pak Narto wafat!" jeritnya dari seberang sana. Sebelum mengakhiri percakapan yang tergesa-gesa, Ayub minta tolong agar kabar duka itu kusampaikan secara berantai ke teman-teman lain.
Kutimang ponsel dengan gamang. Kenangan kampung halaman begitu menyentak.

***

Aku tertegun menatap rumah Ayub. Dindingnya dari papan. Di samping kiri ada tumpukan kayu bakar. Tanaman hias memagari rumahnya. Ada kuntum kembang sepatu dan melati baru mekar. Sedap dipandang mata. Di depan rumah ada bale-bale bambu. Ruas-ruasnya sudah renggang. Kuucap salam di depan pintu yang separuh terbuka. Terdengar sahutan, langkah tergopoh, dan derit pintu yang dikuak.

"Man?!" Dia terperangah. Aku tersenyum. Sudah lama kami tak bersua. Detik itu juga, waktu seolah berhenti ketika kami saling berpelukan.

"Baru datang? Wah, pangling aku. Gemuk kau sekarang. Sudah jadi orang rupanya. Ah, sampai lupa aku. Ayo masuk." Runtun kalimatnya. Dia tepuk-tepuk dan rangkul bahuku. Aku duduk di kursi rotan ruang tamu. Tas kecil kuletakkan di lantai semen. Ayub memanggil istrinya. Dikenalkan padaku seraya minta dibuatkan dua gelas kopi.

Wajah Ayub yang sesegar pagi cepat menghapus letihku. Diam-diam kucermati sosoknya. Ia memakai kaos putih lusuh dan celana panjang hitam. Tubuhnya kekar. Kulitnya legam. Urat-urat lengannya menyembul keluar. Ketika senyum atau bicara, gigi putihnya berderet rapi. Dengan penuh keluguan ia dedahkan hidupnya kini.

Dari semua nama yang terpahat di batang randu, cuma Ayub yang masih setia pada kampung ini. Yang lainnya telah pergi menyabung nasib ke kota, ke pulau seberang, bahkan ke negeri orang. Ayub hidup dari mengurus sawah dan ladang warisan orang tua. Katanya, meski sempat diserang hama wereng, panen dua bulan lalu cukup lumayan. Hasilnya digunakan untuk menyulap tanah kosong di belakang rumah jadi empang. Dia pelihara ikan mas dan gurami untuk menambah penghasilan.

Aku ngilu waktu Ayub menyuruhku menginap di rumahnya. Tawaran itu menohok batinku. Aku tak punya apa-apa lagi di sini. Setengah windu setelah Emak menyusul Abah ke liang lahat, aku dan tiga saudaraku sepakat menjual sawah dan rumah. Kami ingin merantau. Mencari nasib yang lebih baik. Setelah hasil penjualan dibagi rata, kami pun berpencar ke penjuru mata angin.

Bagaimana menguraikan keadaanku pada Ayub? Aku cuma buruh pabrik tekstil di pulau seberang yang gaji tiap bulan ludes untuk menghidupi istri dan empat anak yang masih kecil. Bedeng kontrakan kami tak jauh dari kawasan pabrik. Berhimpitan dengan bedeng-bedeng lainnya. Lingkungannya kumuh, dikepung bacin selokan dan tempat pembuangan sampah. Kami sudah biasa antre mandi, buang hajat, atau cuci pakaian di WC umum yang ada di tiap pojok bedeng.

Ayub terpana mendengar ceritaku. Sambil terkekeh-kekeh dia menyela, "Jangankan mengalaminya, membayangkannya saja aku tak sanggup."

Menepis risau, kuraih gagang gelas. Kuseruput kopi yang dihidangkan istri Ayub. Ah, kopi yang digoreng sendiri lebih nikmat rasanya. Sambil menyulut rokok, Ayub berkata, "Kenapa tak pulang saja, Man? Beli sawah. Bertani. Meneruskan tradisi keluarga kita dulu."
Aku tercekat. Sekian lama di rantau, sekian jauh berjarak dengan kampung halaman, tak pernah terbersit di benakku untuk pulang.

***

Sepanjang jalan menuju rumah duka, kami kenang kawan-kawan lama. Maryamah, gadis lugu yang dulu pernah aku kesengsem padanya, kini jadi biduan orkes dangdut. Namanya diubah jadi Marta. Kata Ayub, jangan harap dia menengok jika dipanggil dengan nama asli. Darto, yang paling pintar di kelas kami, jadi tukang becak di kota. Sebulan sekali dia pulang menjenguk ibunya yang sakit tua. Aku kaget mendengar nasib Sumarno. Dia jadi bencong. Ngamen di gerbong-gerbong kereta. Lantas kuingat Abas. Ayub bilang, dia ketiban bulan. Hidupnya kini makmur. Mertua Abas orang kaya di kota kecamatan. Abas ditugasi mengurus koperasi. Kesempatan itu tak disia-siakan Abas. Dia pinjamkan uang pada orang-orang dengan bunga tinggi. Masih kuingat guyonan tentang Abas dulu. Jika ketemu Abas dan ular sawah dalam waktu bersamaan, lebih baik bunuh Abas duluan, sebab culasnya melebihi ular. Dan si Ahmad, anak pendiam dan alim itu, sekarang nyantri di sebuah pesantren di Madura.

Ah, waktu telah mengubah segalanya. Kisah teman-teman lama membuatku takjub, heran, campur sedih. Hingga tak terasa tempat yang kami tuju sudah di depan mata. Usai berdoa di sisi almarhum Pak Narto, kami beringsut keluar dari ruang tamu. Duduk di seberang jalan dekat batang bambu yang dihiasi kain kuning. Makin tinggi matahari, makin banyak pelayat datang. Aku termangu menatap rumah duka itu. Ada tarup besar memayungi halaman. Kursi-kursi plastik penuh terisi. Dari bisik-bisik yang kudengar, Marta yang membayar sewa tarup dan kursi itu. Dia tak bisa datang melayat.

Dulu warga kampung ini hidup penuh harmoni dan bersahaja. Meski tak ada hubungan darah, kami merasa selayaknya saudara. Kehidupan yang lambat laun sekeras batulah yang memaksa kami untuk memilih. Merantau jadi pilihan kami, anak-anak muda kala itu.

Sejauh-jauh terbang, warga kampung ini pasti mudik setiap lebaran. Cuma aku yang jarang pulang semenjak tak ada lagi yang tersisa di sini. Begitu juga jika ada yang meninggal, Kami yang di rantau pasti dikabari. Tapi, entah kenapa, sampai jenazah Pak Narto berkalang tanah di pemakaman umum di pojok kampung, hanya segelintir teman yang kutemui. Apakah sosok lelaki kurus jangkung dan ramah itu telah lesap dari ingatan mereka? Apakah rutinitas membuat mereka tak sempat lagi untuk sekedar menengok masa silam?

***

Hari kedua di kampung. Ayub mengajakku ke sawah. Pematang-pematang itu sudah tak sabar menunggu jejakmu, guraunya. Di jalan, kami berpapasan dengan warga yang hendak ke sawah atau ladang. Ada yang jalan kaki sambil menenteng pacul di bahu. Ada yang menggoes sepeda. Aku terharu. Mereka masih mengingatku dan meluangkan waktu sejenak untuk mengobrol.

Justru generasi muda kampung ini yang membuatku jengah. Beberapa kali kulihat mereka memacu sepeda motor sesuka hati. Ngebut di jalan tanah berbatu. Meninggalkan debu panjang di depan mataku.

Sawah Ayub beberapa puluh meter di depan sana, dekat rimbunan pohon pisang. Ketika masih ngungun menatap hamparan permadani hijau itu, Ayub mengajakku turun. Kapan terakhir kali aku meniti pematang? Alangkah jauh masa itu kutinggalkan.

Ayub melenggang tanpa kuatir tergelincir ke lumpur sawah. Aku jauh tertinggal di belakangnya. Melangkah tersendat-sendat sambil merentangkan tangan untuk menjaga keseimbangan.
Lir ilir, lir ilir. Tandure wis semilir. Tak ijo royo-royo. Tak sengguh temanten anyar...

Hawa dingin meniup tengkukku ketika mendengar tembang gubahan Sunan Bonang itu. Sempat terbersit untuk mengikuti Ayub berdendang sepanjang pematang. Namun, entah kenapa, bibirku terasa kelu.

Dari huma beratap rumbia, kusaksikan Ayub berkubang di tengah sawah. Batang-batang padi meliuk. Menimbulkan suara gemerisik ketika saling bergesekan. Sepasang kepodang terbang melayang di keluasan langit. Suara serunai terdengar sayu-sayup sampai. Entah siapa peniupnya. Mendengarnya, aku seakan terhisap dan sesat dalam masa lalu.

Kami pulang menjelang petang. Memutari jalan kampung. Meski lebih jauh jaraknya, tapi aku tak keberatan. Kami mau ke sungai tempat dulu biasa berenang. Sesampainya di sana, hati-hati kami turuni tebing penuh lumut. Aku rindu membasuh muka dengan air sungai. Kutangkupkan kedua telapak tangan lalu kucelupkan ke dalam air. Ayub terkekeh-kekeh melihat kelakuanku yang mirip anak kecil. Setelah segar kami pulang. Baru beberapa puluh langkah menyusuri jalan sunyi, tiba-tiba Ayub mencekal bahuku. Tangannya menuding rimbun ilalang yang bergerak-gerak mencurigakan. Aku ingat, Ayub pernah membidik burung dengan ketapel. Bidikannya paling jitu di antara kami. Burung itu jatuh dari dahan pohon. Menggelepar di semak-semak. Kami mengendap-endap. Alangkah kaget kami memergoki pemandangan itu. Ada sepasang remaja tanggung sedang asyik bercumbu.

Ayub menghardik mereka. Aku terpana. Merasa tertangkap basah, wajah keduanya pucat dan merah padam. Mereka buru-buru membenahi pakaian lalu setengah berlari menuju tempat motor diparkir. Kami kembali melanjutkan langkah. Wajah Ayub kaku. Sepanjang jalan dia bersungut-sungut memaki kelakuan dua anak tadi.

***

Harum bunga kopi merayap dibawa angin. Bintang bertaburan di langit lama. Suara jangkerik dan kodok jadi musik alam. Aku serasa sedang berada di sorga.
"Kampung kita sudah berubah, Man," kata Ayub sambil menatap cahaya kunang-kunang yang timbul tenggelam di rimbun ilalang.

"Ya, aku seperti orang asing di sini," suaraku gamang.
"Semua teman kita pergi merantau. Jadi TKI, babu, atau buruh sepertimu. Tetua kampung meninggal satu-satu. Apalagi sejak teknologi modern menyerbu. Kampung kita makin kehilangan jati dirinya. Asal kau tahu, apa yang kau lihat di tepi sungai tadi belum seberapa..."

Kalimat Ayub terakhir membuatku risau. Aku enggan bertutur lebih banyak. Aku harus tahu diri. Setelah memilih jadi manusia urban, aku tak punya kuasa apa-apa lagi di sini.

***

Izin cuti empat hari telah usai. Takziah tiga malam berturut-turut di rumah almarhum Pak Narto telah kuikuti. Aku harus pulang pagi ini. Rindu kampung halaman telah kutebus dengan hal-hal menyakitkan. Tapi biarlah kutelan dalam hati saja.

Dengan motor tuanya, Ayub mengantarku ke pasar di kampung sebelah. Di sana ada angkutan pedesaan yang trayeknya sampai ke terminal kota. Dari terminal itu aku akan menyambung perjalanan ke pulau seberang.

Persis ketika kami lewati pohon randu itu, lagi-lagi Ayub mengimbauku agar pulang saja. Sebenarnya tak ada lagi yang ingin kukatakan. Namun sekedar menghibur diri, kukatakan pada Ayub bahwa aku punya mimpi yang sederhana. Satu saat nanti, jika ada uang, aku mau pulang. Membeli sawah. Bertani sambil beternak puyuh dan itik. Makan dari hasil keringat sendiri. Hidup tenteram bersama anak istri.

Ayub berjanji kelak akan menagih mimpiku. Sementara aku membayangkan omong kosong yang baru saja kuucapkan, cuma bisa tersenyum giris...***

B U Y A

Cerpen: Damhuri Muhammad

Setitik cahaya menyembul dari balik semak-semak di kaki bukit. Mungkin suluh orang yang mencari belut sawah atau menjaring ikan di sungai Batang Mungo sepanjang lereng bukit itu. Tapi, makin mendekat, makin jelas terlihat. Makin terang terasa. Lalu, cahaya itu menggulung seperti dihempas angin limbubu. Menggumpal, membulat, membesar seperti bola api. Melayang dan melaju kencang ke arah Surau Tuo. Lama sekali bola api itu berputar-putar di atas permukaan tanah kosong, tepat di sisi kanan mihrab Surau Tuo, hingga sekeliling surau itu terang benderang seperti tersiram sinar bulan purnama keempat belas. Padahal, malam itu bukan malam terang bulan.
’’Pertanda apa ini, Bilal?’’ tanya Katik, gemetar dan tergagap-gagap.
’’Ini petunjuk yang kita tunggu-tunggu selama ini.’’
’’Petunjuk?’’ tanya Katik lagi, ’’Maksudnya apa?’’
’’Kita sudah beroleh jawaban tentang raibnya jasad buya,’’ jawab Bilal, sambil tersenyum lega.
’’Jadi….jadi….Ini petunjuk tentang buya Ibrahim Mufti yang menghilang beberapa tahun lalu?’’
Hanya dalam hitungan hari sejak Katik, Bilal, segenap ninik mamak, alim ulama bermufakat dan memutuskan bahwa peristiwa munculnya cahaya pada malam gelap bulan itu benar-benar pertanda yang tak diragukan kebenarannya, masyarakat Taram dari enam jorong: Tanjung Ateh, Tanjung Kubang, Tanjung Balai Cubadak, Parak Baru, Sipatai, dan Subarang, berbondong-bondong ke Surau Tuo. Saling bahu-membahu, menggali tanah pekuburan, mendirikan makam bagi almarhum buya Ibrahim Mufti. Hari itu, kali pertama mereka menggali kubur, tapi tak ada mayat yang bakal ditimbun di liang lahat. Keempat sisinya ditembok semen setinggi dua meter, sementara bagian atasnya diatap seng. Seperti makam para wali, kuburan orang-orang keramat. 

***

Dulu, negeri Taram tanahnya gersang. Musim kering berkepanjangan. Tak ada sumber air untuk mengairi sawah. Kalaupun ada sawah yang ditanami, itu hanya mengharapkan curah hujan. Sementara, musim panas lebih lama ketimbang musim hujan. Gabah dari sawah tadah hujan hanya cukup untuk menghadang ancaman kelaparan. Sekadar bertahan hidup. Tak bersisa untuk ditabung dalam lumbung. Tapi, sejak kedatangan buya Ibrahim Mufti, perlahan-lahan alam mulai bersahabat. Keadaan berubah menjadi lebih baik.
Waktu itu, buya menancapkan ujung tongkatnya ke dalam tanah, lalu dihelanya tongkat itu sambil berjalan ke arah timur. Tanah kering yang tergerus tongkat buya seketika lembab, basah dan dialiri air yang datang entah dari mana. Sesampai di ujung paling timur, buya berhenti. Dibiarkannya tongkat itu tertancap. Lebih dalam dari tancapan yang pertama. Kelak, titik tempat beliau berhenti dinamai: Kepala Bandar. Itulah mata air pertama di Taram. Airnya mengalir deras ke bandar yang semula hanya parit kecil akibat tergerus tongkat buya. Tak lama berselang, bandar pun melebar, membesar dan akhirnya berubah menjadi Sungai Batang Mungo yang menyimpan persediaan air berlimpah. Sejak itu, orang-orang Taram tak lagi tergantung pada sawah tadah hujan. Mereka telah beroleh sumber air. Sawah-sawah pun membuahkan hasil berlebih-lebih. Lumbung-lumbung padi penuh terisi.
Di tengah perkampungan, (dengan bantuan warga) buya membangun sebuah surau. Di sanalah buya tinggal, di sebuah bilik kecil di samping surau. Anak-anak berhamburan datang hendak belajar mengaji. Begitu pun orang dewasa dan orang tua-tua berduyun-duyun untuk salat berjamaah, mendengarkan wirid dan pengajian. Buya memberi nama surau itu: Surau Tuo. Surau pertama yang pernah ada di sana. Surau tertua.
Selain sebagai guru mengaji, guru wirid dan guru tasawuf, buya dikenal memilki banyak keistimewaan. Di bulan Ramadan, setiap keluarga di Taram menggelar acara buka bersama, dan mengundang buya untuk mendoakan keberkahan bagi tuan rumah. Suatu kali, keluarga Nuraya, keluarga Syamsida, dan keluarga Wastiah menyelenggarakan buka bersama di hari yang sama. Secara bersamaan pula mengundang buya. Mereka bersitegang urat leher mempertahankan kesaksian masing-masing. Nuraya tidak percaya, kalau buya datang memenuhi undangan ke rumah Syamsida dan Wastiah. Sebab, hari itu buya ada di rumahnya. Begitu pun Syamsida dan Wastiah, keduanya berani bersumpah bahwa buya juga hadir di rumah mereka masing-masing. Mereka tidak salah. Buya benar-benar memenuhi undangan ketiga keluarga itu. Meski ada yang bersaksi, hari itu buya tidak ke mana-mana. Beliau berzikir dan i’tikaf di Surau Tuo, berbuka bersama dengan jamaah Maghrib. Di manakah jasad asli buya saat itu? Berapa banyakkah bayang-bayang buya? Ada yang menyebut, buya punya ilmu ’’bayang-bayang tujuh’’. Jangankan undangan dari tiga keluarga, dari tujuh keluarga pun buya akan menyanggupinya. Itu belum seberapa, ada yang pernah melihat buya berjalan di atas air saat menyelamatkan orang hanyut di Sungai Batang Mungo. Karena itu, beliau sering disebut: buya keramat.

***


Hari itu, Jumat 12 Sya’ban. Wan Tobat bergegas datang ke Surau Tuo. Memenuhi janjinya, mencukur rambut buya. Kecuali jenggot, buya tidak suka pada bulu. Begitu rambut penuh uban itu mulai tumbuh, beliau akan memanggil Wan Tobat. Meminta tukang cukur itu menggundulinya, hingga culun, licin, dan mengkilat.
’’Tolong agak cepat! Gunakan pisau cukur paling tajam! Sebentar lagi waktu Jumat akan masuk,’’ suruh buya pada Wan Tobat.
Baru separuh rambut buya tergunduli, Wan Tobat tersentak kaget. Karena tiba-tiba buya bangkit, berdiri dari duduknya. Seolah ada yang mengejutkan beliau. Tampak ganjil bentuk kepala buya. Culun sebelah. Sebelah kiri gundul, sebelah kanan masih ada rambut.
’’Wah, saya harus buru-buru pergi.’’
’’Tapi, rambut buya belum selesai dicukur bukan?’’
’’Ndak apa-apa. Saya tidak bisa menunggu lagi.’’
’’Ada apa buya?’’
’’Ka’bah kebakaran. Saya harus segera memadamkannya.’’
Buya berkepala culun itu tergesa-gesa lari ke biliknya, berkemas dan memakai sorban. Masih tampak aneh, meski kepalanya sudah terlilit sorban. Sejenak beliau duduk bersila, menunduk berzikir di depan mihrab Surau Tuo, setelah itu Wan Tobat tak melihat apa-apa lagi. Seketika saja, jasad buya menghilang. Seperti menguap dan raib entah ke mana.

***


Wan Tobat, satu-satunya orang yang melepas kepergian buya. Tukang pangkas itu sudah berkali-kali meyakinkan orang-orang bahwa buya Ibrahim Mufti pergi berjihad, memadamkan api yang hendak meluluhlantakkan Baitullah di Mekah. Tapi, mereka masih sukar mempercayai kebenaran cerita Wan Tobat, antara percaya dan tidak. Malah ada yang menganggap kesaksian itu mengada-ada, tak masuk akal, omong kosong yang dibuat-buat.
’’Buya itu wali. Dalam sekali kerdipan mata, beliau bisa tiba di Mekah.’’
’’Andai bumi yang bulat ini ada tangkainya serupa buah Manggis, buya akan menjinjingnya ke mana-mana.’’
’’Apa lagi yang kalian sangsikan?’’
Berbulan-bulan, peristiwa menghilangnya buya masih menjadi duri dalam daging bagi orang-orang Taram. Mereka sulit menerima kenyataan. Apa mau dikata, Buya sungguh-sungguh telah tiada. Kesangsian mereka pada keterangan Wan Tobat terjawab setelah mendengar cerita dari Wan Tongkin. Warga kampung sebelah, yang pulang setelah berpuluh tahun hidup dan tinggal di tanah suci. Semula Wan Tongkin mendalami ilmu-ilmu agama di Mekah. Setelah pendidikannya tamat, ia tidak kembali pulang ke kampung. Tapi memilih menjadi pedagang lukisan kaligrafi dan kopiah haji di wilayah sekitar Masjid al-Haram. Meluap-meluap lelaki ringkih itu berkisah tentang peristiwa kebakaran Ka’bah, beberapa hari sebelum kepulangannya.
’’Baitullah nyaris hangus jadi abu.’’
’’Siapa yang memadamkan api itu?’’ tanya orang-orang.
’’Untunglah ada seorang lelaki tua. Secepat kilat, ia meloncat ke puncak Ka’bah. Dari ujung tongkatnya mengucur air. Deras, seperti air yang muncrat dari selang pemadam kebakaran. Sekejap, api yang menjalar-jalar itu padam.’’
’’Masih ingat ciri-ciri orang itu?’’
’’Agak ganjil. Kepalanya culun sebelah. Sebelah kiri gundul, sebelah kanan masih ada rambut.’’
Sepeninggal buya, pengajian tasawuf dilanjutkan oleh tiga orang murid kesayangan buya Ibrahim Mufti. Haji Malih, Haji Amak dan Haji Djamil. Mereka juga memiliki banyak keistimewaan seperti buya. Dari Haji Djamil, orang-orang Taram menjawab wasiat tentang buya. Ia pernah bermimpi bertemu arwah buya. Ternyata, tak lama setelah peristiwa kebakaran Ka’bah, buya meninggal. Dalam mimpi itu, Haji Djamil bermohon agar buya memberitahukan di mana beliau dikuburkan. Agar kelak orang-orang Taram dapat berziarah ke makam beliau.
’’Bila muncul cahaya di malam bukan terang bulan, di sanalah saya.’’
’’Bagaimana cara kami mengenali cahaya itu?’’
’’Menggumpal, membulat, dan membesar seperti bola api. Melayang-layang dan berputar seperti gasing. Galilah kuburan persis di setentang cahaya itu! Di sanalah makam saya.’’

***

Bilal dan Katik sudah tiada. Begitu pun orang-orang yang dulu setia menjaga Surau Tuo dan makam buya. Satu per satu meninggal, hingga tak ada lagi yang tahu sejarah surau dan makam keramat itu. Surau lengang. Tak ada hiruk suara anak-anak mengeja alif-ba-ta. Tak ada salat berjamaah, pengajian, apalagi wirid. Surau kotor, kumuh dan berdebu. Sama seperti makam buya yang tak terawat, penuh rumput dan berlumut.
Tapi, Kepala Bandar makin ramai. Mungkin karena suasananya tenang dan sejuk. Airnya jernih, ikannya jinak. Setiap hari berpuluh-puluh pasang muda-mudi (laki-laki dan perempuan) berboncengan sepeda motor beriring-iringan menuju lokasi mata air tertua itu. Di balik semak-semak sepanjang pinggir sungai, tersedia pondok-pondok bambu yang disewakan bagi setiap pasangan. Mereka leluasa berbuat apa saja. Tanpa ada yang mengusik dan menganggu. Tak ada yang tahu, Kepala Bandar yang sudah mesum dan penuh maksiat itu, dulu tempat suci yang dihormati. Konon, buya Ibrahim Mufti pernah menancapkan tongkat keramatnya untuk memperoleh mata air. Di sana pula buya kerap berdoa, memohon keberkahan dan kelimpahan rezeki bagi orang-orang Taram.

***